Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuka akses informasi dan melakukan pembahasan yang lebih transparan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Desakan tersebut disampaikan setelah Koalisi diundang oleh Komisi III DPR untuk turut serta dalam diskusi mengenai draft revisi KUHAP yang saat ini tengah disusun. Revisi ini diharapkan bisa rampung pada April 2025.
Pentingnya transparansi dalam pembahasan RUU KUHAP ini ditekankan oleh Koalisi, yang menilai bahwa masyarakat berhak mengetahui secara jelas setiap perubahan yang terjadi dalam undang-undang yang berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Mereka juga menekankan bahwa tanpa keterbukaan dalam proses legislasi, revisi KUHAP bisa jadi tidak mencerminkan kepentingan publik, dan bahkan bisa menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.
Langkah Koalisi Masyarakat Sipil ini juga mencerminkan dua prinsip penting dalam pemerintahan menurut ajaran Islam, yaitu transparansi (shafaafiyyah) dan akuntabilitas (mas’uliyyah).
Dalam konteks ini, transparansi dalam pembahasan RUU KUHAP adalah bentuk dari keterbukaan pemerintah kepada masyarakat mengenai setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Begitu pula, akuntabilitas mengharuskan pemerintah, dalam hal ini DPR, untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil, baik kepada masyarakat maupun kepada Allah.
Transparansi (Shafaafiyyah) Dalam Islam, transparansi berarti bahwa setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh pemerintah harus dapat diakses dan dipahami oleh rakyat. Ini memungkinkan masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Rasulullah SAW memberi contoh transparansi dalam kepemimpinan dengan menjelaskan setiap keputusan yang diambilnya secara terbuka kepada umat. Pembahasan RUU KUHAP yang terbuka dan melibatkan partisipasi publik akan menghindari kesalahpahaman dan meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang.
Akuntabilitas (Mas’uliyyah) mengharuskan para pemimpin untuk bertanggung jawab atas segala keputusan dan tindakan mereka. Dalam konteks pembahasan RUU KUHAP, DPR harus siap mempertanggungjawabkan setiap langkah yang diambil, baik kepada masyarakat maupun di hadapan Allah.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS Al-Zalzalah: 6-8, setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, pemimpin yang tidak transparan dalam pengambilan keputusan berisiko kehilangan kepercayaan masyarakat.
Tanggung jawab moral, menurut ajaran Islam, pemimpin tidak hanya bertanggung jawab secara hukum tetapi juga moral. Setiap pemimpin adalah pengemban amanah, dan harus bertindak adil serta tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” menegaskan bahwa pemimpin harus menjaga amanah dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak menyelewengkan keputusan yang dibuat.
Keterlibatan Masyarakat sangat penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas. Dalam Islam, prinsip musyawarah sangat dihargai, sebagaimana tercantum dalam QS Ali Imran: 159, “Dan bermusyawarahlah dalam urusan itu.”
Masyarakat berperan penting dalam memberikan masukan dan kritikan yang konstruktif terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, pembahasan RUU KUHAP yang terbuka untuk diskusi publik merupakan langkah positif dalam menerapkan prinsip musyawarah dan memastikan bahwa setiap pihak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan.
Menghindari kezaliman dan korupsi, suatu perbuatan yang sangat dilarang. Pemerintahan yang tidak transparan berpotensi menimbulkan tindakan zalim, seperti penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi.
Ketika keputusan-keputusan penting seperti revisi KUHAP tidak dilaksanakan secara terbuka, hal itu dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Islam mengingatkan bahwa kezaliman akan membawa kehancuran, dan oleh karena itu, pemerintahan harus menghindari tindakan yang dapat merugikan rakyat dan merusak sistem keadilan.