Pernahkah kita melihat seseorang menangis histeris saat bertemu idolanya? Atau berteriak-teriak hanya karena melihat selebriti lewat sejenak? Tak sedikit pula yang kehilangan kendali bahkan sampai gemetar, pingsan, atau menjerit kegirangan saat menyapa orang yang mereka anggap luar biasa penting.
Fenomena ini sering disebut dengan istilah “fanatic admiration” atau kekaguman yang berlebihan. Dalam bahasa psikologi, ini bisa menjadi bagian dari emotional dysregulation, ketika sistem emosi kita tidak lagi bekerja seimbang, karena otak menganggap kehadiran seseorang sebagai stimulus luar biasa tinggi.
Tapi, apa sebenarnya yang sedang terjadi di dalam diri seseorang ketika mereka begitu heboh bertemu orang terkenal?
Kita tumbuh dalam budaya yang menjunjung status, popularitas, dan pengaruh. Saat seseorang tampil di layar kaca, media sosial, atau berada di lingkar kekuasaan, otak manusia cenderung mengasosiasikannya dengan “nilai yang tinggi”. Akibatnya, ketika berinteraksi dengan figur tersebut, otak melepaskan dopamiN, zat kimia kebahagiaan dalam jumlah besar.
Namun, ketika kadar ini terlalu tinggi, seseorang bisa mengalami gejala seperti: Overexcitement (kegembiraan ekstrem), hilangnya kontrol diri, merasa rendah atau tidak sebanding.
Hal ini sering tidak disadari, tapi bisa berdampak pada cara kita menilai diri sendiri. Kekaguman yang berlebihan seringkali mengarah pada inferioritas, merasa bahwa kita “kecil” dibanding orang lain. Padahal, sejatinya setiap manusia memiliki kedudukan mulia dan setara di hadapan Tuhan.
Dalam Islam, menghormati orang lain adalah ajaran luhur. Kita diajarkan untuk menghargai ulama, pemimpin, orang tua, dan siapa pun yang berbuat baik. Namun, Islam juga memberi batas: jangan sampai penghormatan berubah menjadi pengagungan yang berlebihan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini mengingatkan, bahkan kepada Rasulullah yang mulia sekalipun, beliau tidak ingin dipuja seperti Tuhan. Itu menunjukkan bahwa Islam sangat menekankan proporsi dalam memandang manusia.
Jika kita mengagumi seseorang karena kebaikannya, karya, atau ilmunya, maka biarkan itu menjadi pemacu untuk memperbaiki diri. Tapi ketika kekaguman membuat kita kehilangan martabat, menjerumuskan ke dalam penghambaan sosial, maka saatnya bertanya: “Apakah ini kekaguman, atau pengagungan yang melupakan siapa diri kita?”
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu merendahkan dirimu kepada manusia.”(QS. Al-Furqan: 63)
Ayat ini menegaskan bahwa kerendahan hati tidak sama dengan merendahkan diri. Orang beriman diajarkan untuk tegas menjaga harga dirinya, tapi tetap lembut kepada sesama.
Mari ajarkan generasi muda untuk mengagumi tanpa kehilangan jati diri. Karena sehebat apapun manusia, semuanya akan kembali pada tanah. Yang membuat seseorang benar-benar istimewa bukan jumlah followers nya, bukan pangkatnya, bukan popularitasnya, tetapi takwanya, ilmunya, dan amalnya.
Dan tidak ada manusia yang lebih layak dicintai melebihi Rasulullah SAW. Namun bahkan kepada beliau, kita diajarkan adab yang penuh ketenangan, bukan histeria.
“Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah SAW, dan aku tidak mampu menatap wajah beliau lama-lama karena rasa hormatku padanya.” (HR. Tirmidzi, dari Amr bin Ash RA)
Lihatlah bagaimana cinta bisa hadir dalam diam, dalam tenang, dan dalam hormat yang tidak perlu teriak-teriak. Mungkin, dari situlah kita belajar, bahwa kekaguman sejati tidak heboh, tapi menggerakkan hati untuk berubah lebih baik.