Banyak Anak Banyak Rezeki: Bagaimana Pandangan Islam, Apakah Nasib Indonesia Akan Menyusul India?

muslimX
By muslimX
8 Min Read

Di benak banyak orang, pepatah lama “banyak anak banyak rezeki” sering dianggap sebagai prinsip universal: semakin besar jumlah keturunan, semakin luas pula keberkahan dan rezeki yang mengalir. Di Indonesia, pernyataan ini masih sering terdengar, terutama di kalangan masyarakat yang memegang teguh nilai tradisional dan religius. Namun, ketika melihat perkembangan demografi dan kondisi sosial-ekonomi di negeri tetangga, yaitu India, muncul pertanyaan:

“Apakah Indonesia akan menghadapi nasib serupa India, yakni kesulitan mengolah sumber daya, tingginya angka kemiskinan, dan tantangan infrastruktur jika tingkat kelahiran terus melaju tanpa pengendalian?”

Dalam konteks ini, penting bagi kita menelusuri kenyataan demografis, membandingkan tren di Indonesia dan India, serta memahami sudut pandang Islam tentang keluarga, tanggung jawab, dan ketergantungan kepada Allah SWT.

India, dengan populasi saat ini mendekati 1,4 miliar jiwa (perkiraan Juli 2024), menempati posisi sebagai negara terpadat kedua di dunia. Meskipun ekonomi India tumbuh pesat dalam dekade terakhir, tantangan skala besar tetap membayangi:

  • Ketimpangan Pendapatan: Sebagian besar pertumbuhan ekonomi terpusat di kota-kota besar. Di sisi lain, wilayah pedesaan masih menghadapi kemiskinan ekstrem, akses pendidikan terbatas, dan layanan kesehatan yang tidak merata.
  • Tekanan Infrastruktur: Kepadatan penduduk yang tinggi di daerah perkotaan seperti: Mumbai, Delhi, dan Kolkata, menimbulkan kemacetan parah, polusi, hingga kekurangan air bersih dan sanitasi.
  • Pengangguran dan Pekerjaan Non-Formal: Meskipun banyak terjadi urbanisasi, tidak semua pendatang mendapatkan pekerjaan layak. Sektor informal menampung sebagian besar tenaga kerja, namun gaji rendah dan tanpa jaminan sosial.

Sementara itu, Indonesia, dengan populasi sekitar 277 juta jiwa pada 2024, juga berada dalam fase transisi demografis. Angka kelahiran menurun dari rata-rata 3 anak per wanita pada 1990-an menjadi sekitar 2,3 anak per wanita pada awal 2020-an. Namun, laju pertumbuhan masih cukup signifikan untuk menuntut perhatian:

  • Ketimpangan Regional: Provinsi Jawa-Bali memegang lebih dari 60% PDB nasional, sementara wilayah Timur dan Tengah Indonesia tertinggal dalam akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
  • Urbanisasi Cepat: Sekitar 56% penduduk sudah tinggal di daerah perkotaan. Pertumbuhan kota-kota besar memicu permasalahan perumahan, transportasi, dan sanitasi.
  • Tantangan Sumber Daya: Pertambahan jumlah penduduk memerlukan pasokan energi, pangan, air bersih, dan lapangan kerja yang semakin besar.

Jika dibandingkan, India telah lebih dahulu merasakan dampak kepadatan penduduk yang tinggi dan tuntutan sumber daya yang begitu besar. Meskipun konteks politik, budaya, dan ekonomi berbeda, Indonesia perlu belajar dari pengalaman itu agar tidak terperosok ke dalam jebakan “ledakan penduduk tanpa kesiapan pengelolaan” yang akan menurunkan kualitas hidup secara menyeluruh.

Pepatah “banyak anak banyak rezeki” sebenarnya bermula dari pandangan tradisional bahwa semakin besar keluarga, semakin kuat jaringan sosial (social network) dan tenaga kerja keluarga di masa depan. Di masyarakat agraris misalnya, memiliki banyak anak sering diidentikkan dengan ketersediaan tenaga di sawah dan ladang. Dalam konteks modern, harapan ini berakar pada keyakinan bahwa anak-anak akan menjadi penopang di masa tua, baik secara ekonomi maupun emosional.

Namun, pada kenyataannya:

  1. Beban Finansial. Setiap anak membutuhkan biaya, mulai dari pendidikan dasar hingga menengah, perawatan kesehatan, hingga kebutuhan dasar sehari-hari. Jika jumlah anak terlalu banyak, kemampuan orang tua (atau negara) dalam menyiapkan fasilitas memadai menjadi terhambat.
  2. Kualitas, Bukan Kuilitas. Islam mengajarkan pentingnya mendidik anak dengan baik, baik dari sisi agama, moral, maupun keterampilan. Ketika jumlah anak sangat banyak namun sumber daya minim, kualitas pendidikan dan pengasuhan menjadi terabaikan.
  3. Tak Berbanding Lurus dengan Rezeki. Outlook bahwa “rezeki datang dari jumlah anak” tidak selalu akurat secara empiris. Di era informasi dan globalisasi, faktor penentu kesejahteraan keluarga lebih digerakkan oleh pendidikan, keterampilan, dan investasi bukan semata banyaknya anggota keluarga.

Melihat India, beberapa keluarga yang memiliki 5–6 anak kini mengalami kesulitan menutupi kebutuhan dasar, terutama karena persaingan pasar kerja semakin ketat dan upah riil di sektor informal menurun. Selain itu, negara harus menyiapkan akses pendidikan untuk puluhan juta anak setiap tahun, sehingga menimbulkan tekanan anggaran negara dan memengaruhi

Untuk mencegah skenario serupa, Indonesia perlu merumuskan kebijakan yang proporsional:

  • Pengendalian Angka Kelahiran. Program Keluarga Berencana (KB) sudah berjalan sejak Orde Baru, namun cakupannya perlu terus diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil. Penyuluhan tentang pentingnya merencanakan kehadiran anak secara matang, bukan sekadar “banyak anak banyak rezeki” harus diperkuat oleh pemerintah dan lembaga masyarakat.
  • Pemerataan Akses Edukasi dan Kesehatan. Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia wajib mempercepat pembangunan fasilitas pendidikan dan layanan kesehatan di luar Jawa agar tidak semakin terpusat.
  • Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kunci kemajuan bangsa terletak pada talent dan keahlian. Mendorong setiap keluarga agar fokus pada kualitas pendidikan anak menjadi prioritas, ketimbang sekadar kuantitas.

Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia berpeluang memanfaatkan bonus demografi, kondisi di mana sebagian besar penduduk berada di usia produktif untuk memperkuat ekonomi. Namun, bila dibiarkan angka kelahiran tinggi tanpa kesiapan infrastruktur dan pelayanan, realita di India dapat menjadi bayangan gelap yang menghantui masa depan.

Dalam Islam, setiap keluarga dianjurkan untuk menjaga tawazun, keseimbangan antara percaya kepada Allah SWT (tawakal) dan usaha (ikhtiar). Keyakinan bahwa rezeki datang dari Allah tidak berarti kita boleh bermalas-malasan atau berlengah dalam merencanakan keluarga. Berikut beberapa prinsip ajaran Islam yang relevan:

  1. Merencanakan Keluarga dengan Bijaksana (Isti’tar)
    Rasulullah SAW mencontohkan kehidupan keluarga yang harmonis dan terencana. Beliau menganjurkan berikhtiar, termasuk merencanakan jumlah anak, dengan mempertimbangkan kemampuan dan kondisi. Tidak ada nash literal yang melarang pembatasan kelahiran, selama metode yang digunakan sesuai syariat (misalnya, ruang jauh senggama/abstinensi, penggunaan metode alami).
  2. Keutamaan Mendidik Anak
    Kualitas pendidikan anak sangat ditekankan. Rasulullah SAW bersabda:

“Tiada ayah yang memberikan sesuatu yang lebih baik kepada anaknya daripada mendidik akhlak terpuji.” (HR. Tirmidzi)
Jika terlalu banyak anak tanpa kemampuan orang tua mendidik, dikhawatirkan generasi yang lahir tidak mendapatkan perhatian cukup, sehingga terperosok dalam kebodohan dan kemiskinan.

  1. Keberkahan Tinggi, Bukan Sekadar Angka
    Kata “banyak anak banyak rezeki” harus dipahami bukan sebagai jaminan kelimpahan materi, melainkan keberkahan (barakah) dari Allah. Barakah inilah yang menuntut “kualitas” iman dan ketakwaan, bukan sekadar “banyaknya” anak yang otomatis memberi rezeki. Allah SWT berfirman:

“Dan berikanlah kepada mereka (anak-anak yatim) yang menjadi haknya, serta janganlah menukarkan yang baik dengan yang buruk…” (QS. An-Nisa: 2)
Ajaran Islam mengajak kita memberi perhatian penuh kepada setiap anak, termasuk anak yatim, agar setiap jiwa memiliki hak terpenuhi, bukan sekadar menumpuk anggota keluarga.

  1. Tawakal Tanpa Lengah
    Sementara kita percaya bahwa Allah memberi rezeki, Islam memerintahkan untuk bekerja keras dan bertanggung jawab:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini mengajarkan kejelian dalam setiap urusan, termasuk perencanaan dan pencatatan, sebuah prinsip yang dapat diaplikasikan dalam merencanakan keluarga: susun anggaran, pertimbangkan kebutuhan, dan ikhtiar mencari nafkah yang halal.

Dalam perspektif Islam, menambah keturunan bukan dosa, namun juga bukan kewajiban tanpa batas. Setiap pasangan dianjurkan untuk menimbang kemampuan fisik, ekonomi, dan spiritual sebelum mengundang anggota keluarga baru. Barakah, keberkahan adalah anugerah yang datang bila setiap anak dibesarkan dengan kasih sayang, perhatian pendidikan agama, dan persiapan yang matang.

Share This Article