muslimx.id -Belakangan ini, publik kembali dibuat heboh oleh video viral yang memperlihatkan permintaan jatah proyek tanpa lelang senilai miliaran rupiah oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan organisasi pengusaha. Salah satu organisasi yang belakangan menjadi sorotan adalah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Tak sedikit suara kritis muncul, menyebut bahwa organisasi ini telah kehilangan ruh sebagai wadah pengusaha sejati, dan justru kini dipenuhi oleh para pencari peluang instan.
Jaya (bukan nama asli), seorang pengusaha asal Malang, mengaku kecewa setelah bergabung dengan HIPMI. Harapannya untuk bertemu dan belajar dari para pengusaha muda pupus ketika ia mendapati bahwa banyak anggota HIPMI ternyata tidak benar-benar memiliki usaha. Mereka hanya memegang CV tanpa produk, tanpa aktivitas usaha yang nyata.
“Secara jujur, mereka lebih dekat ke pengangguran. Hanya berharap jadi makelar proyek,” keluh Jaya.
Dalam pandangan Islam, fenomena ini mencerminkan krisis niat dan etika kerja. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bergabung dalam komunitas bisnis semestinya didasari oleh semangat untuk membangun kebaikan, meningkatkan kapasitas, serta memberi manfaat, bukan sekadar mencari celah proyek atau memperdaya rekan sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, menurut Jaya, ada oknum anggota HIPMI yang justru saling menipu antar sesama anggota. Hal ini senada dengan sabda Nabi Muhammad, “Barang siapa menipu kami, maka ia bukan golongan kami.” (HR. Muslim). Islam sangat menekankan kejujuran dan amanah dalam berdagang, bahkan menjadikan pedagang jujur kelak akan dibangkitkan bersama para nabi dan syuhada.
Begitui dengan Reda, seorang pengusaha penerbitan di Yogyakarta, juga mengungkapkan kekecewaan serupa. Menurutnya, banyak anggota HIPMI yang bahkan tidak punya bisnis sama sekali. “Saya kira ini komunitas pengusaha, ternyata banyak yang cari pekerjaan,” ujarnya heran.
Dalam sejarah Islam, para sahabat Rasulullah banyak yang merupakan pedagang tangguh. Mereka bekerja keras, jujur, dan tidak mengandalkan koneksi atau manipulasi untuk mendapatkan keuntungan. Bandingkan dengan fenomena saat ini, di mana banyak yang mengaku pengusaha namun sesungguhnya hanya berperan sebagai makelar atau bahkan tukang tipu berkedok CV.
Fenomena ini bukan hal baru. Di masa lalu, tepatnya era 1950-an hingga 60-an, program ekonomi Ali-Baba yang dimaksudkan untuk memberdayakan pengusaha pribumi juga gagal akibat kesalahan mentalitas: bantuan produksi disalahgunakan untuk konsumsi, nama dipinjamkan demi kredit, dan usaha hanya menjadi topeng untuk keuntungan sesaat.
Dalam Islam, bekerja dan berniaga adalah ibadah. Allah SWT memerintahkan umat-Nya untuk mencari rezeki yang halal dan thayyib (baik), serta bersaing secara adil. “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil” (QS. Al-Baqarah: 188).
Tapi, apa yang kita lihat hari ini adalah kemalasan yang dibungkus dengan topeng organisasi. Sebagian masyarakat lebih memilih pekerjaan instan: jadi preman pasar, tukang parkir liar, manusia silver, karena hasilnya cepat tanpa perlu kerja keras. Padahal dalam Islam, bekerja dengan tangan sendiri itu mulia, bahkan Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seseorang yang dilakukan dengan tangannya sendiri.” (HR. Ahmad).
Jika organisasi pengusaha hanya diisi oleh mereka yang tak punya produk, tak punya usaha, dan hanya ingin ‘menyelundup’ ke proyek pemerintah tanpa usaha nyata, maka sesungguhnya mereka telah mengkhianati semangat Islam dalam berdagang: jujur, amanah, dan bertanggung jawab.
Sudah saatnya umat Islam sadar bahwa berdagang dan membangun bisnis bukan hanya soal untung dan rugi, tapi soal akhlak, keberkahan, dan tanggung jawab di hadapan Allah SWT.