Keadilan yang Retak: Ketika Kelalaian Diampuni, Ketaatan Dilupakan

muslimX
By muslimX
5 Min Read

muslimx.id – Setiap tahun, Rudi (bukan nama sebenarnya) datang ke kantor Samsat dengan tekad dan keteraturan yang telah menjadi kebiasaannya. Tanpa perlu diberi peringatan, tanpa harus menunggu tenggat terakhir, ia selalu memastikan bahwa kewajiban membayar pajak kendaraan telah ia tunaikan. Ia tahu jalurnya, paham prosedurnya, dan menjalaninya dengan tenang. Bukan karena takut didenda, tapi karena dalam hatinya ia yakin bahwa menunaikan kewajiban adalah bagian dari keimanan.

Namun tahun ini, keyakinannya diuji. Pemerintah Provinsi Jawa Timur kembali meluncurkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor untuk periode Juli hingga Desember 2025. Semua denda dihapus, bea balik nama pun dibebaskan. Bagi yang menunggak bertahun-tahun, pintu kembali dibuka lebar, tanpa sanksi, tanpa cela.

“Jadi… mereka yang tidak membayar pajak bertahun-tahun malah diampuni? Lalu kami yang taat ini, apa kabarnya?” kata Rudi.

Dalam logika kebijakan publik, pemutihan seperti ini dianggap efektif meningkatkan pendapatan daerah. Namun dari kaca mata keadilan, dan lebih dalam lagi, dari sudut pandang Islam apakah ini pilihan yang benar?

Islam meletakkan keadilan (‘adl) sebagai pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)

Keadilan bukan hanya soal menegakkan hukum, tapi juga tentang memberi hak pada yang semestinya menerima, dan tidak menyamakan antara yang tekun dengan yang lalai. Ketika mereka yang melalaikan kewajiban mendapat pengampunan massal, dan mereka yang disiplin dibiarkan berjalan sendiri tanpa apresiasi, maka terjadi ketimpangan nilai. Dalam bahasa Islam, ini adalah bentuk zalim terhadap hak orang yang telah memenuhi amanahnya.

Dalam Islam, ikhlas adalah kunci amal. Tapi bukan berarti negara boleh abai terhadap mereka yang menjaga keikhlasan itu. Kebijakan pemutihan pajak yang terus-menerus, tanpa evaluasi dan tanpa penghargaan bagi yang patuh dapat menimbulkan moral hazard: sebuah kondisi di mana orang merasa tidak masalah melalaikan kewajiban, karena kelalaian itu akan dimaafkan juga pada waktunya.

Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.” (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini mengajarkan bahwa kebijakan publik pun harus menghindari dampak yang merugikan satu pihak, termasuk mereka yang taat. Ketika yang lalai diberikan “hadiah”, dan yang taat tidak diberi ruang untuk dihargai, maka ini menciptakan suasana sosial yang kontraproduktif terhadap semangat taqwa dan disiplin.

Menurut data Bapenda Jawa Timur, dari 18,7 juta kendaraan yang terdaftar, sekitar 5,2 juta kendaraan (27,8%) menunggak pajak. Angka ini bukan kecil. Tapi solusinya bukan terus-menerus mengampuni tanpa mendidik. Islam tak melarang memberi kesempatan kedua, tetapi Islam juga tak mengajarkan untuk memberi maaf tanpa niat memperbaiki perilaku.

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)

Apakah kita sedang membangun masyarakat yang tolong-menolong dalam kebaikan dan ketertiban? Atau justru memberi celah untuk menunda-nunda kewajiban, karena tahu ampunan akan datang dengan sendirinya?

Islam tidak hanya mengatur hukuman, tapi juga mengajarkan pentingnya menghargai kebaikan secara nyata. Pemerintah bisa meniru prinsip ihsan (berbuat lebih dari yang wajib). Bukan sekadar membebaskan denda bagi yang lalai, tetapi juga memberi penghargaan bagi yang taat, baik dalam bentuk diskon, layanan prioritas, atau sekadar pengakuan publik.

Di beberapa daerah, pendekatan ini pernah dicoba. Misalnya, potongan pajak untuk mereka yang tidak pernah menunggak selama lima tahun, atau layanan lebih cepat bagi wajib pajak yang disiplin. Ini sesuai dengan semangat Islam yang mendorong balasan setimpal:

“Barangsiapa berbuat baik seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7)

Pajak bukan sekadar angka. Ia adalah bentuk amanah. Sebuah janji antara warga dan negara: bahwa rakyat membayar dengan ikhlas, dan negara mengelola dengan adil. Ketika negara terlalu fokus pada angka, tanpa melihat nilai yang terkandung di balik ketaatan maka pelan-pelan kontrak sosial itu retak.

Di negeri ini, masih banyak orang seperti Rudi. Mereka membayar bukan karena takut, tapi karena merasa itu bagian dari amanah. Tapi amanah itu juga butuh dirawat. Butuh diyakinkan bahwa kebaikan tidak akan disia-siakan.

Maka sebelum kita mengulang program pemutihan berikutnya, mari bertanya sejenak:
Apakah kebijakan ini mendekatkan kita pada keadilan? Atau justru menjauhkan kita dari nilai-nilai Islam yang kita junjung tinggi?

Karena negara besar bukan dibangun dari pemutihan yang berulang, tetapi dari kepercayaan dan keadilan yang tumbuh di hati mereka yang taat.

Share This Article