Polemik Status Khusus Surakarta: Menimbang Aspek Sejarah dan Keadilan dalam Perspektif Islam

muslimX
By muslimX
3 Min Read

muslimx.id – Isu mengenai pemberian status daerah istimewa bagi Surakarta kembali menjadi perbincangan hangat. Wacana ini didasarkan pada alasan historis, di mana Kesunanan Surakarta memiliki peran penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, sejajar dengan Yogyakarta yang telah lebih dahulu memperoleh status istimewa. Para pendukung ide ini menilai bahwa keistimewaan serupa adalah bentuk penghargaan atas jasa masa lalu. Namun, polemik muncul ketika aspek keadilan, pemerataan pembangunan, dan potensi perpecahan sosial juga ikut dipertaruhkan.

Dalam kacamata keindonesiaan, sejarah memang menjadi fondasi penting dalam membentuk identitas dan arah kebijakan. Namun, dalam perspektif Islam, setiap kebijakan, apalagi yang berdampak luas pada masyarakat harus ditimbang dengan prinsip al-‘adalah (keadilan) dan al-maslahah (kemaslahatan).

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90)

Ayat ini menjadi pedoman penting dalam setiap pengambilan kebijakan, termasuk soal otonomi dan status istimewa suatu wilayah. Sejarah memang layak dihormati, tetapi keadilan untuk seluruh elemen masyarakat harus menjadi pijakan utama. Apakah pemberian status khusus pada Surakarta akan membawa maslahat yang lebih besar, atau justru membuka luka-luka lama yang bisa memperlebar ketimpangan antarwilayah?

Dalam Islam, kekuasaan dan status istimewa tidak diberikan karena keturunan atau kebesaran masa lalu semata. Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menggarisbawahi bahwa tanggung jawab kepemimpinan dan kebijakan bukanlah tentang posisi atau simbol, melainkan tentang amanah. Maka, apakah pemberian status khusus kepada Surakarta akan memperkuat kualitas pelayanan publik dan keadilan sosial di wilayah tersebut? Ataukah justru hanya menjadi simbol formalitas yang menjauhkan rakyat dari kesejahteraan?

Islam mengajarkan bahwa mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat (dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih). Jika sebuah kebijakan berpotensi memunculkan kecemburuan sosial, fragmentasi pemerintah, atau ketidakpuasan dari daerah lain, maka pertimbangan matang harus dilakukan.

Apalagi, dalam sistem otonomi daerah saat ini, tantangan terbesar bukanlah soal status istimewa, tetapi pada kualitas pengelolaan daerah, integritas pemimpinnya, dan kesejahteraan rakyatnya.

Wacana keistimewaan untuk Surakarta bukan tidak mungkin diwujudkan. Namun, Islam mengingatkan bahwa setiap kebijakan publik harus diarahkan pada maslahat bersama, bukan hanya mengakomodasi memori sejarah. Pemerataan, keadilan, dan keseimbangan sosial jauh lebih utama daripada simbol dan gelar.

Jika keistimewaan mampu menghadirkan manfaat riil bagi masyarakat tanpa mengorbankan kesatuan nasional, maka ia patut dipertimbangkan. Namun jika sebaliknya, maka lebih bijak bagi kita untuk mengedepankan nilai-nilai Islam: keadilan, persaudaraan, dan tanggung jawab sosial sebagai fondasi bagi kebijakan yang adil dan bijaksana.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mari jaga negeri ini dengan keadilan dan cinta, bukan dengan simbol dan keistimewaan semu.

Share This Article