Kesakralan yang Terkikis: Menimbang Ujian Praktik Nikah dalam Cahaya Syariah

muslimX
By muslimX
5 Min Read

muslimx.id – Belakangan, viral di media sosial, khususnya TikTok dan Instagram video sebuah “resepsi pernikahan” yang digelar di dalam ruang kelas XII SMAN 4 Bandung. Ruang kelas yang biasanya dipenuhi kursi, papan tulis, dan buku, mendadak dihias bak gedung resepsi: pelaminan bernuansa tradisional Sunda, kursi tamu, tenda prasmanan, hingga pengantin berpakaian adat lengkap.

Semua elemen terlihat persis seperti acara sungguhan: penghulu, saksi, wali, MC, hingga sesi sungkem orang tua yang mengundang air mata guru dan siswa lain. Kehebohan serupa juga terjadi di banyak sekolah lain sejak pertama kali muncul di Tasikmalaya pada 2013, lalu menyebar ke berbagai kota seiring munculnya tren “praktik nikah” sebagai bagian ujian praktik Agama Islam.

Di sisi berbeda, banyak netizen mempertanyakan, “Mengapa anak SMA harus ‘berlatih menikah’ seperti itu?” Bahkan ustadz-ustadzah di beberapa daerah ikut mengkritik, apakah praktik ini sesuai dengan tujuan pendidikan Agama Islam? Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri fenomena tersebut dari sudut pandang Islam: sejauh mana “simulasi nikah” di sekolah bermanfaat, di mana letak kelebihannya, dan apakah ada alternatif praktik ibadah yang lebih urgent untuk dipelajari siswa.

Dalam Islam, akad nikah memiliki lima rukun:

  1. Mempelai pria (mutaḥarri),
  2. Mempelai wanita (mukhtabā),
  3. Wali (walī),
  4. Dua orang saksi yang adil,
  5. Ijab dan qabul (pernyataan kerelaan mempelai pria dan wanita).

Dalilnya, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Nikah itu sunnahku; barangsiapa meninggalkannya, bukan termasuk umatku.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Pada dasarnya, sekolah ingin memberi pengalaman praktis pengertian tentang pernikahan dalam mata pelajaran Agama Islam. Tujuannya bisa meliputi:

  1. Mengenalkan Proses Akad
    Siswa diharapkan memahami urutan ijab-qabul, peran wali, saksi, dan penghulu.
  2. Menghayati Makna Pernikahan
    Dengan memerankan “pasangan pengantin”, siswa diajak merenungkan komitmen, tanggung jawab, dan kesakralan membangun keluarga.
  3. Melatih Keberanian Berbicara di Publik
    Menjadi MC, pembaca khutbah, atau bahkan orang tua pengantin, melatih keterampilan komunikasi.

Namun, apakah kemewahan resepsi: dekorasi, konsumsi lengkap dengan sop, sate, ayam suwir, dessert benar-benar diperlukan agar tujuan-tujuan di atas tercapai? Dari kacamata syariah, ada beberapa hal yang perlu dikritisi lebih dalam.

1. Larangan Israf

Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A‘rāf: 31)

Menggelar pesta pernikahan yang sangat megah dengan berbagai jenis hidangan mahal berpotensi menggiring siswa pada perilaku israf, menghabiskan harta secara berlebihan, padahal masih banyak kebutuhan penting lain yang lebih layak dipenuhi. Padahal, dari sisi kurikulum, yang penting dipelajari adalah akad pernikahan (ijab-qabul, rukun), bukan detail dekorasi resepsi.

2. Bahaya Riya’ (Pamer)

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu demi Allah …” (HR. Bukhari & Muslim)

Dalam konteks praktik nikah, muncul potensi niat yang keliru: bukan sekadar belajar, tetapi memamerkan kemampuan finansial kelas. Uang patungan besar-besaran bisa mengarah pada riya’, ingin dipuji, dibanding-bandingkan, atau disanjung sebagai “kelas paling mampu”. Padahal, inti aqidah Islam adalah sincerity (ikhlas), bertindak semata-mata karena Allah, bukan untuk mendapat pujian teman atau guru.

Menurut kurikulum Agama Islam, selain praktik nikah, ada sejumlah praktik ibadah yang lebih urgent dan bermanfaat langsung bagi siswa dan lingkungan di sekitarnya, misalnya: mengurus jenazah, praktik pemotongan hewan qurban atau praktik tayammum dan wudhu.

Fenomena “praktik nikah” di SMA sejatinya lahir dari niat baik: memberi pengalaman nyata kepada siswa tentang makna pernikahan dalam Islam. Namun ketika dilaksanakan dengan dekorasi mewah, konsumsi berlebihan, dan budaya patungan besar, justru berpotensi bertabrakan dengan prinsip Islam tentang kesederhanaan (qabdh wa ibtighā’) serta larangan israf (pemborosan) dan riya’ (pamer).

Jika sekolah ingin benar-benar menanamkan pemahaman Islam yang komprehensif, maka kesederhanaan, keikhlasan, dan khidmat terhadap ajaran Rasulullahﷺ harus menjadi tolok ukur. Mari kita jadikan momentum ini untuk merefleksikan: Apakah kita sudah mengedepankan nilai syariah, atau terjebak pada kemewahan semu yang sekadar konten media sosial?

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim).

Dalam konteks ini, mari kita berkata bijak: pendidikan agama bukan ajang ego kelas, tetapi ladang menanam akhlak dan ketaqwaan. Wallāhu aʿlam bish-shawāb.

Share This Article