muslimx.id – Dalam sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, kontribusi kaum Muslimin tak dapat dihapus dari catatan emas kemerdekaan. Namun tak hanya lewat senjata dan diplomasi, umat Islam juga berjuang lewat pena dan suara. Dari sinilah lahir apa yang kini kita sebut sebagai media Islam, sebuah pilar penting yang bukan hanya menyuarakan kebenaran, tapi juga menjadi pengawal nilai-nilai kemerdekaan.
Jejak Media Islam di Masa Penjajahan
Media Islam bukanlah fenomena baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka, surat kabar dan buletin yang diterbitkan oleh tokoh-tokoh Islam telah menjadi alat perjuangan melawan penjajahan dan kebodohan. Nama-nama seperti Soeara Moehammadijah, Al-Islam, dan Pembela Islam menjadi corong dakwah dan nasionalisme yang mencerahkan umat sekaligus menentang dominasi kolonial Belanda.
Melalui media itulah para ulama dan tokoh Islam menyampaikan nilai-nilai tauhid, keadilan, dan kemanusiaan sebagai dasar dari perjuangan. Mereka menolak penjajahan bukan semata karena kehilangan tanah, tapi karena merampas kehormatan dan martabat sebagai makhluk Allah yang merdeka.
Media Islam dan Peran Dakwah Kemerdekaan
Media Islam memiliki kekuatan ganda: sebagai penyampai informasi dan sebagai alat dakwah. Ia tak hanya berbicara tentang pemerintahan, tetapi juga membentuk karakter dan menyuarakan akhlak bangsa.
Dalam Islam, menyampaikan kebenaran adalah bagian dari jihad. Rasulullah SAW bersabda:
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Melalui media, umat Islam tidak hanya berperan sebagai konsumen informasi, tetapi sebagai penjaga moral bangsa. Di masa kemerdekaan, ini berarti melawan penjajahan. Di masa kini, ini berarti melawan penyesatan informasi, dekadensi moral, dan segala bentuk penindasan atas nama kekuasaan.
Media Islam Era Modern
Di era digital, media Islam menghadapi tantangan baru. Informasi begitu cepat menyebar, tetapi tidak selalu mengandung kebenaran. Disinilah media Islam diuji: apakah tetap menjadi pengawal kemerdekaan hakiki: yaitu merdeka dalam berpikir, bersikap, dan beriman, atau justru larut dalam pusaran opini yang menyesatkan.
Media Islam harus tetap berpijak pada prinsip:
- Menyuarakan yang benar, bukan yang populer.
- Membela yang lemah, bukan yang kuat.
- Menjaga akidah dan akhlak umat, bukan sekadar rating dan traffic.
Menjadi Pewaris Perjuangan Ulama
Media Islam hari ini mewarisi jejak para ulama pejuang yang dahulu berdiri di barisan depan melawan penjajahan. Mereka tidak diam. Mereka menulis, menyampaikan khutbah, menerbitkan majalah, membangun radio dan kini mengembangkan platform digital, semuanya demi satu tujuan: agar umat Islam tidak menjadi budak siapa pun kecuali Allah.
“Dan katakanlah: kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29)
Ayat ini adalah fondasi kebebasan berpikir dalam Islam, tetapi dengan satu syarat: kebenaran harus tetap dijunjung tinggi.
Media Islam, Pilar Kemerdekaan Abadi
Kemerdekaan bukan hanya peristiwa 17 Agustus 1945. Ia adalah proses panjang menjaga nilai-nilai ketuhanan, keadilan, dan kemanusiaan. Di tengah arus informasi yang membanjiri ruang digital, media Islam adalah penjaga benteng terakhir akidah dan akhlak bangsa.
Mereka adalah para mujahid pena, yang menyampaikan kebenaran bukan karena dibayar, tetapi karena takut kepada Allah dan cinta kepada umat.
“Media Islam bukan hanya pelapor peristiwa. Ia adalah penuntun jalan menuju kebenaran.”