Menimbang Ulang Model Pendidikan dan Relasi Kekuasaan

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id – Dalam ingatan Raka, masa orientasi mahasiswa baru tidak lebih dari ajang penindasan terselubung. Ia dijemur di tengah lapangan oleh senior hanya karena lupa mengenakan “mahkota” dari kertas karton. Dua jam hukuman berdiri, belum sarapan, dan terik matahari yang menyengat membuatnya ambruk. Ironisnya, hukuman ini dianggap wajar. Bahkan oleh teman seangkatannya sendiri, Raka diberi label “lemah”.

Pengalaman pahit itu menyisakan trauma dan kebencian. Bagi Raka, ospek tak ubahnya tempat uji kekuasaan para senior yang memposisikan diri sebagai pemegang kebenaran. Diskusi dan pembelaan diri dibungkam, kritik dianggap pembangkangan. Relasi yang terbentuk bukanlah edukatif, melainkan otoriter.

Padahal, dalam Islam, membina dan mendidik tidak boleh dilakukan dengan kekerasan, penghinaan, apalagi menjatuhkan martabat seseorang. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam dunia pendidikan, bertentangan dengan ajaran Islam. Pendidikan dalam Islam mengedepankan rahmah (kasih sayang), ta’lim (pengajaran), dan tarbiyah (pengasuhan), bukan intimidasi dan pemaksaan.

Raka tidak menyangka bahwa kampus, tempat ia berharap menemukan iklim belajar yang bebas dan terbuka, justru membentuk mentalitas “feodal akademik”. Senior merasa paling benar, dan junior dianggap tak layak berbicara.

Relasi kuasa semacam ini menghambat dialektika keilmuan. Bagaimana mungkin mahasiswa mampu menjadi insan akademis jika pikirannya dibungkam oleh batasan hierarki yang tidak ilmiah?

Nabi Muhammad ﷺ justru memberi contoh pembelajaran yang sangat egaliter. Dalam banyak riwayat, Rasul mendengar, menghargai, bahkan menanggapi pertanyaan para sahabat — tua maupun muda, dengan penuh kesabaran.

“Permudahlah (urusan), jangan mempersulit; berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari (dari agama).” (HR. Bukhari)

Sayangnya, teman-teman Raka yang dahulu merasakan penderitaan seperti dirinya, kini justru mewarisi praktik tersebut. Mereka melanjutkan estafet perploncoan saat menjadi panitia orientasi. Mirisnya, ketika masuk masyarakat, mereka menjadi generasi yang merasa superior. Masyarakat dipandang bodoh, dan mereka merasa paling benar karena gelar akademiknya.

Model pendidikan yang menumbuhkan mental “superioritas kampus” semacam ini telah melahirkan jarak antara kalangan intelektual dan masyarakat. Mereka lupa bahwa ilmu bukan untuk disombongkan, tetapi untuk mengabdi dan membimbing.

Berbeda dengan pengalaman Raka, sang Ayah menceritakan sistem pembelajaran masa lalu yang dikenal dengan “ngaji langgaran”. Sistem ini berlangsung di musholla-musholla kecil di desa, yang dibangun atas semangat saling mengasuh, bukan mendominasi.

Dalam ngaji langgaran, relasi antara kakak dan adik tingkat lebih menyerupai pola tanggung jawab keilmuan. Kakak membimbing adik dengan sabar dan kasih sayang. Jika adik belum bisa membaca al-Qur’an, kakaknya yang dievaluasi oleh guru. Nilai-nilai ini mencerminkan semangat tawaadhu’ (rendah hati) dan ta’awun (tolong-menolong), yang menjadi fondasi akhlak Islam.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya orang-orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.” (HR. Thabrani)

Budaya ini jauh lebih membentuk jiwa akademik yang sejati. Kakak tingkat bukan hanya pengingat aturan, tetapi pelindung adik tingkat. Mereka bukan penguasa, melainkan pembimbing.

Perploncoan, dengan dalih membentuk karakter, sesungguhnya telah kehilangan arah. Alih-alih mendidik, ia justru merusak semangat keilmuan dan mengaburkan nilai adab.

Sudah saatnya kampus meninggalkan model pendidikan yang berbasis kekuasaan. Islam telah menunjukkan bahwa pembelajaran sejati hanya bisa lahir dari kasih sayang, keikhlasan, dan keterbukaan. Jika ingin mencetak intelektual yang tangguh, kampus harus memanusiakan manusia. Dan relasi antarmahasiswa harus diletakkan pada semangat ukhuwah dan kesetaraan, bukan senioritas yang menindas.

Model pendidikan baru, tak selamanya jitu. Begitu pun cara lama, juga tak selalu kadaluwarsa.

Share This Article