muslimx.id – Dalam diskursus modern, pajak kerap dipandang sebagai kewajiban administratif semata. Namun, dalam sejarah Islam, konsep pajak telah dikenal dan diterapkan dengan prinsip yang sangat erat kaitannya dengan keadilan sosial, tanggung jawab kolektif, dan kemaslahatan umat. Pajak dalam Islam bukan sekadar pungutan, melainkan instrumen yang digunakan untuk menegakkan keadilan dan pemerataan ekonomi.
Pajak dalam Terminologi Islam
Dalam khazanah fiqih, konsep pajak dikenal dengan beberapa istilah seperti:
- Kharaj: Pajak atas tanah yang ditaklukkan oleh kaum Muslimin, tetapi tetap dikelola oleh penduduk non-Muslim. Hasilnya disalurkan ke baitul mal.
- Jizyah: Pajak yang dikenakan kepada non-Muslim yang tinggal dalam naungan pemerintahan Islam sebagai bentuk jaminan perlindungan dan kebebasan beragama.
- Ushr: Pungutan sebesar 10% atas barang dagangan dari luar negeri atau milik non-Muslim, sedangkan Muslim dikenakan pungutan lebih ringan jika berdagang lintas batas.
- Zakat: Meski bukan pajak dalam arti negara modern, zakat adalah kewajiban finansial yang berdimensi vertikal dan horizontal antara hamba dan Tuhannya, serta antara sesama manusia.
Selain itu, ada istilah dharibah, yaitu pungutan tambahan yang dapat ditetapkan pemerintah Muslim jika kas negara (baitul mal) tidak mencukupi untuk kebutuhan darurat, seperti perang, bencana, atau pembangunan infrastruktur vital.
Prinsip Penarikan Pajak dalam Islam
Islam tidak melarang penarikan pajak oleh negara, selama memenuhi prinsip-prinsip syar’i berikut:
- Keadilan: Tidak memberatkan satu kelompok dan tidak membiarkan kelompok lain bebas dari beban.
- Transparansi dan Amanah: Harta yang diambil dari rakyat harus dikelola dengan jujur, transparan, dan dikembalikan dalam bentuk kemaslahatan umum.
- Kebutuhan Nyata: Pajak hanya sah ditarik jika negara benar-benar membutuhkan dana untuk kebutuhan rakyat, bukan demi kepentingan elite penguasa.
- Sementara dan Proporsional: Tidak bersifat permanen, harus proporsional dan tidak menindas.
- Tidak Bertentangan dengan Zakat: Pajak tidak boleh menggantikan kewajiban zakat, karena zakat memiliki dimensi ibadah yang tetap.
Praktik Pajak di Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sistem administrasi pajak dikembangkan dengan sangat rapi. Khalifah Umar tidak hanya mempertahankan kharaj dan jizyah dari masa Rasulullah dan Abu Bakar, tetapi juga membentuk struktur birokrasi keuangan seperti pencatatan harta negara, pembagian wilayah, dan sistem distribusi.
Umar juga dikenal menolak pajak yang bersifat menindas. Dalam satu riwayat, ia mencopot pejabat daerah yang memberlakukan pajak berlebihan kepada petani non-Muslim. Ia mengatakan, “Janganlah kalian membebani mereka (dzimmi) dengan sesuatu yang tidak mereka mampu, sebab mereka berada dalam lindungan kita.”
Pajak dan Negara Modern: Bagaimana Islam Menyikapinya?
Dalam konteks negara modern seperti Indonesia, pajak menjadi salah satu pilar utama pendapatan negara. Meski tidak sepenuhnya identik dengan konsep pajak dalam syariat, umat Islam dapat menerima sistem ini dengan syarat:
- Negara mengelola pajak untuk kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan politik atau korupsi.
- Zakat tetap dijaga dan tidak digantikan oleh pajak.
- Umat Islam diberi ruang untuk menjalankan kewajiban keuangan syariah secara bebas.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri menekankan bahwa pajak dan zakat tidak saling menggantikan, melainkan bisa berjalan berdampingan dengan syarat pengelolaan yang adil dan transparan.
Sejarah Islam mengajarkan bahwa pajak bukanlah sekadar angka dalam formulir, melainkan bagian dari sistem keadilan ekonomi yang bertujuan menjaga keseimbangan sosial dan memberi ruang bagi semua warga, Muslim maupun non-Muslim, untuk hidup layak. Pemerintah dalam Islam memikul amanah besar, bukan hanya memungut, tetapi memastikan bahwa setiap rupiah yang dipungut adalah untuk kepentingan umat.
Sebagaimana pesan Umar bin Abdul Aziz: “Jika kalian memungut pajak dari rakyat, pastikan kalian juga memberi mereka dari apa yang kalian ambil.”