muslimx.id – Sejumlah sejarawan mengkritik penulisan sejarah resmi Indonesia yang dinilai terlalu mengedepankan narasi tunggal. Sejarah yang seharusnya menjadi refleksi dari berbagai perspektif masyarakat justru dirumuskan secara sentralistik dan monolitik. Akibatnya, pluralitas pengalaman bangsa diabaikan, dan muncul kecenderungan pembenaran terhadap kekuasaan otoriter.
Dr. Ahmad Rizal, sejarawan Universitas Negeri Malang, menyatakan bahwa sejarah nasional sering kali ditulis dari sudut pandang penguasa, bukan rakyat. “Sejarah seperti ini melahirkan ketimpangan narasi. Yang berjasa tak terlihat, yang berkuasa dikultuskan,” ujarnya dalam seminar nasional bertema “Dekonstruksi Historiografi Indonesia”.
Dampak Historis: Pengaburan Identitas dan Kesadaran Kritis
Menurut Rizal, akibat dari historiografi yang menafikan pluralitas adalah terjadinya pengaburan terhadap peran berbagai kelompok masyarakat, termasuk ulama, santri, petani, dan minoritas adat, dalam perjuangan dan pembangunan bangsa.
“Anak-anak sekolah diajarkan versi sejarah yang sudah disaring ketat. Ini melemahkan kesadaran kritis generasi muda dan menjauhkan mereka dari semangat keadilan sosial,” lanjutnya.
Sudut Pandang Islam: Keadilan dalam Merekam Sejarah
Dalam perspektif Islam, penulisan sejarah yang adil dan jujur merupakan bagian dari amanah intelektual. Al-Qur’an mencatat sejarah umat-umat terdahulu secara seimbang, mengungkapkan keberhasilan sekaligus kesalahan mereka tanpa menutup-nutupi fakta.
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap dirimu sendiri…” (QS. An-Nisa: 135)
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang keadilan dalam hukum, tetapi juga dalam menyampaikan kebenaran sejarah.
“Dalam Islam, sejarah adalah sarana ibrah (pelajaran). Jika kita memanipulasinya, maka kita telah mengkhianati nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW,” ujar Ustaz Fikri Maulana, dosen Sejarah Peradaban Islam.
Ia menekankan bahwa banyak peradaban besar dalam sejarah Islam runtuh justru karena upaya memutihkan kesalahan penguasa. “Ketika sejarah disusun hanya untuk melanggengkan kekuasaan, kita sedang menggali lubang kehancuran sendiri.”
Menuju Penulisan Sejarah yang Berkeadilan
Para akademisi dan tokoh agama menyerukan pentingnya penulisan sejarah yang inklusif, memuat suara rakyat kecil, dan tidak menjadi alat propaganda. Islam sendiri telah memberikan teladan dengan menulis sejarah para sahabat dan khalifah dengan jujur, mencatat kelebihan dan kekurangannya.
“Sudah saatnya kita menulis ulang sejarah Indonesia dengan pendekatan yang adil dan plural, agar generasi mendatang tumbuh dengan kesadaran kritis dan akhlak ilmiah,” tutup Dr. Rizal.