muslimx.id – Kasus gratifikasi senilai Rp21,5 miliar yang menjerat Muhamad Haniv, mantan Kepala Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus, kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan Indonesia. Pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (10/6/2025) mengungkap praktik penyalahgunaan jabatan demi kepentingan pribadi, termasuk pendanaan bisnis anak melalui “sponsor” dari para wajib pajak.
Kasus ini tidak hanya menunjukkan adanya kelalaian individu, tetapi juga mencerminkan kerusakan sistemik yang membenarkan kecurigaan masyarakat bahwa lembaga fiskal kerap menjadi ladang bancakan kekuasaan. Dalam kacamata Islam, perbuatan ini bukan sekadar pelanggaran hukum negara, tapi juga pelanggaran serius terhadap amanah Allah dan pengkhianatan terhadap rakyat.
Amanah Pajak dalam Syariat Islam
Dalam Islam, jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jabatan sebagai pejabat pajak sejatinya merupakan bentuk tanggung jawab untuk menegakkan keadilan distribusi kekayaan (al-‘adl al-māliy), bukan alat untuk menumpuk kekayaan pribadi. Islam menegaskan bahwa segala bentuk penerimaan harta yang bukan hak, termasuk gratifikasi yang disamarkan sebagai “sumbangan” merupakan bentuk ghulul (penggelapan harta) yang diharamkan.
Allah SWT berfirman:
“Barang siapa yang berkhianat dalam urusan amanah, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa harta yang dikhianatinya…” (QS. Ali Imran: 161)
Mengelola Pajak: Antara Transparansi dan Keadilan
Dalam konsep tata kelola Islami, pungutan terhadap rakyat harus dijalankan secara adil, transparan, dan penuh tanggung jawab. Rasulullah SAW memperingatkan keras para petugas pajak atau pemungut zakat yang tidak amanah. Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khattab dikenal sangat ketat dalam mengawasi para pejabat negara, bahkan sampai mengaudit harta mereka secara berkala.
Pajak bukanlah sumber kekuasaan pribadi, melainkan sarana mengelola maslahat umat. Oleh karena itu, negara dalam sistem Islam tidak boleh memeras atau mengintimidasi rakyat dalam urusan keuangan. Jika pengelolaan pajak menjadi sarana memperkaya keluarga atau kelompok tertentu, maka ini adalah bentuk dholim yang jelas.
Solusi Islam terhadap Korupsi Fiskal
Islam memandang pembenahan sistem bukan hanya soal digitalisasi atau audit teknis, tetapi juga pembangunan akhlak dan integritas aparat. Di sinilah pentingnya membangun lembaga pembinaan karakter seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam mendidik para sahabat sebagai pemimpin yang jujur, bersih, dan takut akan hisab akhirat.
Langkah-langkah perbaikan dalam pandangan Islam meliputi:
- Penguatan nilai amanah dan hisab di setiap level birokrasi fiskal. Pegawai pajak harus diseleksi bukan hanya berdasarkan kompetensi, tetapi juga integritas dan pemahaman keagamaan.
- Audit berkala dan keterbukaan informasi publik, agar tidak ada ruang bagi kolusi dan suap dalam pengambilan kebijakan.
- Keterlibatan masyarakat sipil dan ulama dalam mengawasi kebijakan fiskal, sebagaimana tradisi amar ma’ruf nahi munkar.
- Penegakan sanksi yang tegas dan adil, karena Allah mencintai keadilan dan membenci kecurangan.
Jangan Berhenti di Spanduk: Wujudkan Pajak yang Barokah
Jika slogan “reformasi pajak” hanya berhenti di baliho dan konferensi pers, maka yang terjadi adalah bentuk nifaq sosial, pura-pura memperbaiki padahal melanggengkan kebusukan. Dalam Islam, perbaikan harus dimulai dari hati yang bersih dan sistem yang bersandar pada prinsip syura, hisbah, dan amanah.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58)
Kasus Haniv harus menjadi titik balik untuk membangun sistem fiskal yang lebih Islami: adil, bersih, dan penuh tanggung jawab. Bukan hanya sistem digital, tapi juga sistem ruhani yang melahirkan pejabat yang sadar akhirat. Pajak adalah hak rakyat dan amanah Allah. Jika disalahgunakan, maka kehancuran bukan hanya terjadi di dunia, tapi juga di akhirat.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.