muslimx.id – Komisi III DPR RI berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk mendengar masukan berbagai pihak atas RUU Hukum Acara Pidana (KUHAP) mulai 17 Juni 2025. Mahasiswa hukum dari berbagai universitas, LPSK, Peradi, serta para ahli pidana diundang menyampaikan pandangannya terhadap revisi UU Nomor 8 Tahun 1981.
Langkah ini dilakukan di tengah masa reses, yang seharusnya menjadi waktu jeda bagi anggota dewan, namun diisi dengan diskusi publik menyangkut hukum pidana. Revisi KUHAP dikebut agar bisa diterapkan bersamaan dengan KUHP baru yang akan berlaku 1 Januari 2026.
Islam dan Prinsip Musyawarah
Islam telah menekankan pentingnya syura (musyawarah) dalam pengambilan keputusan, terutama hal-hal yang menyangkut urusan umat. Allah berfirman:
“…dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka…” (QS. Asy-Syura: 38)
Melibatkan mahasiswa, ahli, dan kelompok masyarakat dalam pembahasan RUU sejatinya adalah bentuk modern dari nilai syura dalam Islam. Namun, musyawarah dalam Islam bukan sekadar formalitas. Ia adalah amanah, harus dilakukan secara jujur, terbuka, dan bermakna.
Partai X: Mendengar Bukan Simbolik, Tapi Substansi
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengingatkan bahwa mendengarkan rakyat bukanlah hiasan demokrasi, melainkan ruhnya. Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan umat, bukan tokoh pertunjukan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah penanggung jawab dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maka, ketika DPR mengundang rakyat dalam forum dengar pendapat, mereka tidak sekadar menunaikan kewajiban administratif, tetapi sedang memikul amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Revisi Hukum: Antara Keadilan dan Kekuasaan
Partai X menyoroti bahwa hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang menindas rakyat kecil. Dalam Islam, hukum ditegakkan atas dasar keadilan (al-‘adl), bukan kepentingan.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat ihsan…” (QS. An-Nahl: 90)
Revisi KUHAP seharusnya menjadi momentum untuk melindungi rakyat kecil, memperkuat hak asasi terdakwa, dan mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh aparat hukum. Jika tidak, hukum hanya akan menjadi pagar istana, bukan pelindung masyarakat.
Solusi Islamik: Kepakaran dan Keadilan sebagai Pilar
Partai X mengusulkan tiga hal penting dalam revisi KUHAP:
- Berbasis keilmuan, bukan kompromi sesaat. Ini sesuai dengan nilai Islam yang menempatkan ulama dan ahli pada posisi kunci dalam merumuskan hukum (QS. At-Taubah: 122).
- Uji pasal berdasarkan prinsip HAM dan maqashid syariah: perlindungan jiwa, kehormatan, dan hak sipil adalah bagian dari tujuan utama hukum Islam.
- Perkuat pengawasan terhadap aparat: Nabi ﷺ bersabda:
Barang siapa yang kami tunjuk sebagai pemimpin lalu ia menyembunyikan sebatang jarum pun dari hasil kepemimpinannya, maka ia akan datang membawanya pada Hari Kiamat.” (HR. Muslim)
Mendidik Negarawan Hukum, Bukan Sekadar Pakar
X-Institute melalui Sekolah Negarawan menanamkan prinsip bahwa hukum adalah amanah, bukan senjata. Dalam Islam, pemimpin atau pejabat bukan hanya cerdas, tapi juga berintegritas.
Umar bin Khattab pernah berkata:
“Jika ada rakyat yang kelaparan di bawah kepemimpinanku, maka akulah yang akan dituntut oleh Allah.”
Pendidikan hukum tidak hanya mengajarkan pasal, tapi juga menanamkan taqwa, amanah, dan keberpihakan pada rakyat.
Kesimpulan: Partisipasi Publik adalah Syura, Bukan Sandiwara
Partai X menekankan bahwa revisi KUHAP bukan hanya soal isi pasal, tapi soal cara pasal itu dibentuk. Rakyat harus benar-benar didengar, bukan sekadar diundang sebagai pelengkap.
Dalam Islam, hukum adalah sarana menegakkan ‘adl (keadilan), bukan menambah penderitaan. Maka, musyawarah publik bukan seremoni demokrasi, melainkan bagian dari ibadah sosial dan amanah kekuasaan.
“Dan jika kamu menghukum, maka hukumlah di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Ma’idah: 42)
Jika revisi KUHAP ingin membawa kebaikan, maka pastikan ia lahir dari proses yang bersih, adil, dan mendengarkan suara yang paling lemah sekalipun.