muslimx.id – Usulan pembentukan tim pengawas khusus untuk program makan bergizi gratis (MBG) memicu keprihatinan. Dalam pandangan Islam, gizi anak adalah hak mendasar yang harus dipenuhi oleh negara sebagai bentuk amanah, bukan dijadikan lahan proyek atau ladang anggaran baru.
Anggota DPR menyuarakan kekhawatiran terhadap pembengkakan anggaran Badan Gizi Nasional (BGN) dalam RAPBN 2026, yang mencapai Rp217,86 triliun, terbesar di antara kementerian/lembaga lain. Kekhawatiran pun muncul: apakah anggaran sebesar itu benar-benar untuk anak, atau justru untuk membangun struktur pengawasan yang gemuk dan rawan konflik kepentingan?
Islam Menjunjung Tinggi Keadilan dalam Pelayanan Publik
Dalam Islam, pelayanan terhadap anak-anak termasuk penyediaan makanan dan gizi merupakan kewajiban kolektif negara dan masyarakat. Negara harus hadir bukan sebagai pemilik kemurahan, tetapi sebagai pelayan yang menunaikan amanah Allah.
“Dan berikanlah kepada anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, dan jangan kamu tukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, itu adalah dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 2)
Ayat ini menegaskan bahwa pengelolaan hak anak, termasuk harta dan kebutuhan hidupnya, adalah amanah besar yang tidak boleh disalahgunakan apalagi dijadikan proyek keuntungan pribadi.
Gizi Bukan Komoditas, Tapi Hak yang Wajib Dipenuhi
Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, menyampaikan bahwa jika pengawasan program justru menambah struktur birokrasi dan belanja baru, maka rakyat akan makin jauh dari manfaat sesungguhnya. Dalam Islam, tidak ada kebaikan dalam memperbanyak sistem jika itu hanya menyuburkan kemewahan penguasa dan melemahkan pelayanan kepada umat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika anak-anak yang kelaparan hanya dijadikan dalih untuk memperluas proyek pengawasan, maka para pemegang kekuasaan akan memikul beban besar di hadapan Allah kelak.
Islam Mendorong Pengawasan Partisipatif, Bukan Birokratisasi Baru
Alih-alih membentuk lembaga baru, Islam mengajarkan pentingnya hisbah (pengawasan sosial) yang melibatkan masyarakat secara langsung demi menjaga transparansi dan keadilan. Inilah prinsip yang sejalan dengan usulan Partai X: libatkan sekolah, puskesmas, dan orang tua; bukan hanya pejabat birokrasi.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Dengan membangun dashboard transparan, membuka akses audit publik, dan melarang keterlibatan ormas berkepentingan, maka sistem gizi nasional akan lebih kuat secara akuntabilitas dan syariah.
Negara yang Adil Tak Akan Membiarkan Anak Lapar
Dalam Islam, anak-anak adalah amanah yang suci. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa umat yang tak mempedulikan anak-anak lemah adalah umat yang jauh dari kasih sayang Allah.
“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua.” (HR. Ahmad, Abu Dawud)
Oleh karena itu, program makan bergizi gratis seharusnya bebas dari kepentingan kelompok dan pencitraan. Ini adalah hak anak, bukan hadiah kekuasaan. Negara harus melayani dengan adil dan tulus, bukan menjadikan pelayanan sosial sebagai komoditas kekuasaan.
Melayani Anak adalah Ibadah, Bukan Ladang Anggaran
Islam mewajibkan pemimpin untuk melayani rakyat, bukan menjadikannya objek proyek. Jika negara sungguh ingin memberi makan anak-anak, maka lakukanlah dengan amanah, jujur, dan terbuka.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58)
Jangan sampai di balik piring makan anak-anak yang lapar, tersimpan tumpukan proyek yang hanya mengenyangkan pejabat.