Empat Pulau Dipindah ke Sumut Tanpa Dialog: Dalam Islam, Tanah Adalah Amanah, Bukan Angka di Peta

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id – Keputusan pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau di perairan Tapanuli sebagai bagian dari Sumatera Utara menuai penolakan dari masyarakat Aceh. Gubernur Aceh Muzakir Manaf menegaskan bahwa Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil secara historis merupakan bagian dari Aceh, dan keputusan administratif ini dinilai sepihak.

Dari sudut pandang Islam, pemindahan wilayah tanpa melibatkan suara rakyat adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip syura (musyawarah) dan pengelolaan amanah publik. Tanah bukan sekadar aset birokrasi, tapi bagian dari identitas umat, tempat hidup, dan warisan generasi.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)

Negara Adalah Pelayan Rakyat, Bukan Pemilik Rakyat

Partai X menyatakan bahwa pemindahan wilayah tanpa dialog dengan masyarakat lokal adalah bentuk pemangkasan kedaulatan rakyat.

Dalam Prinsip Partai X, setiap penguasa adalah pelayan, bukan pengendali sepihak atas nasib rakyat.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika peta diputuskan hanya di ruang-ruang rapat pusat tanpa mendengar suara rakyat pesisir yang hidup dan menjaga wilayah tersebut, maka negara telah menanggalkan tanggung jawabnya sebagai pelindung umat.

Tanah dan Wilayah: Bukan Sekadar Garis Administratif, Tapi Hak Kultural dan Historis

Dalam Islam, tanah adalah amanah dari Allah yang harus dikelola dengan adil dan bijaksana. Setiap jengkal tanah punya nilai, bukan hanya ekonomis atau administratif, tapi nilai ruhani, sosial, dan historis.

“Dan kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di bumi…”
(QS. An-Nur: 42)

Tanah yang diwariskan turun-temurun bukan sekadar benda mati; ia memiliki memori perjuangan, sejarah adat, dan tempat beribadah umat. Mengalihkannya tanpa musyawarah adalah bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan maqashid syariah (tujuan utama syariat): menjaga harta dan kehormatan.

Islam Mewajibkan Musyawarah dalam Keputusan Publik

Islam mewajibkan musyawarah dalam setiap keputusan yang menyangkut umat. Dalam konteks pemindahan wilayah, penduduk lokal, tokoh adat, dan DPRD harus dilibatkan sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai partisipasi dan mencegah kezaliman administratif.

“…Dan (bagi) orang-orang yang menerima (memenuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…” (QS. Asy-Syura: 38)

Menetapkan batas wilayah hanya berdasarkan kalkulasi teknokratik tanpa mendengar umat adalah bentuk arogansi kekuasaan yang tidak sesuai dengan prinsip khilafah (kepemimpinan) yang adil dan transparan.

Solusi Islamik: Dialog, Partisipasi, dan Keadilan dalam Menata Negeri

Partai X mengusulkan solusi yang juga sejalan dengan prinsip Islam:

  • Libatkan rakyat, ulama, dan tokoh adat dalam penataan wilayah, bukan hanya birokrasi pusat.
  • Audit ulang keputusan administratif dengan pendekatan syura terbuka.
  • Kuatkan peran DPRD dan pemda dalam menjaga tanah rakyat sebagai amanah.
  • Bangun pendidikan politik melalui madrasah siyasah (sekolah negarawan) agar rakyat paham hak wilayah dan dapat membela ruang hidupnya.
  • Evaluasi ulang Kepmendagri 300.2.2-2138/2025 dengan prinsip islah (mediasi dan rekonsiliasi) berbasis nilai-nilai lokal.

Penutup: Dalam Islam, Tanah adalah Amanah, Bukan Komoditas Kekuasaan

Jika tanah dipindah tanpa suara rakyat, maka luka sosial akan lebih panjang dari garis yang digambar di peta. Islam mengajarkan bahwa stabilitas bukan dibangun dari garis administratif, tapi dari keadilan dan partisipasi umat.

“Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain secara batil, dan janganlah kalian menyuap hakim agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Negara boleh menggambar ulang peta, tapi tak boleh menghapus rasa kepemilikan rakyat atas tanah mereka sendiri. Jika suara rakyat terus dikesampingkan, maka negara akan kehilangan kepercayaan yang menjadi fondasi kekuatan sejatinya.

Share This Article