muslimx.id – Pemerintah kembali mendorong proyek strategis besar: Giant Sea Wall, sebuah tanggul laut raksasa yang membentang sepanjang 500 kilometer dari Banten hingga Gresik. Menteri Sekretaris Negara menyebut investor dari Tiongkok dan Korea Selatan telah menyatakan minat informal terhadap proyek ini.
Namun kritik tajam datang dari Partai X, yang menilai proyek ini rawan merampas kedaulatan laut Indonesia dan mengorbankan warga pesisir demi kepentingan asing. Lantas bagaimana Islam memandang proyek sebesar ini yang bersinggungan dengan isu lingkungan, rakyat, dan kedaulatan?
Islam: Laut adalah Amanah, Bukan Komoditas yang Bisa Dijual
Islam menegaskan bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah yang harus dijaga, bukan dieksploitasi untuk kepentingan segelintir orang atau negara lain. Allah SWT berfirman:
“Dia-lah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali) setelah dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)
Proyek tanggul laut yang berskala raksasa ini tidak bisa dilihat hanya sebagai prestasi infrastruktur. Ia harus dinilai dari sejauh mana menjaga amanah Allah berupa ekosistem laut, serta apakah kebijakan ini memihak kepada rakyat atau kepada kapital asing.
Kritik Islam terhadap Proyek Pejabat dan Investor Asing
Dalam Islam, pemimpin memiliki kewajiban melindungi harta dan ruang hidup rakyat, bukan menyerahkannya kepada pihak luar. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika proyek Giant Sea Wall lebih membuka peluang bagi modal asing ketimbang memberdayakan rakyat pesisir, maka ini jelas bertentangan dengan prinsip wilayah kekuasaan dalam Islam: rakyat harus diutamakan, bukan dimarjinalkan.
Islam tidak menolak investasi, tetapi melarang bentuk kerja sama yang merugikan umat dan merusak alam, apalagi jika keputusan proyeknya tidak melibatkan rakyat yang terdampak langsung.
Ketika Infrastruktur Menjadi Benteng Kapital, Bukan Perlindungan Umat
Partai X menyuarakan kegelisahan yang sejalan dengan prinsip Islam: jangan sampai tanggul laut justru menjadi tembok kapitalisme asing yang menyingkirkan nelayan dan merusak pesisir.
Dalam Islam, kebijakan publik harus memenuhi prinsip:
- Maslahah ‘Ammah (kemaslahatan umum)
- Syura (musyawarah dengan rakyat terdampak)
- Adl (keadilan sosial dan lingkungan)
Jika proyek tanggul tidak diawali dengan kajian sosial-ekologis yang jujur, tidak melibatkan warga pesisir, serta tidak transparan dalam pembiayaan dan kepemilikannya, maka Islam menyebutnya kezaliman struktural yang diharamkan.
Pembangunan yang Memihak Rakyat dan Menjaga Amanah Laut
Islam menawarkan kerangka pembangunan yang adil dan beretika:
1. Audit Syariah atas Dampak Proyek
Melibatkan ahli fikih, lingkungan, dan masyarakat lokal untuk menilai apakah proyek sesuai prinsip maqashid syariah (tujuan utama syariat), terutama menjaga jiwa (hifzh an-nafs), menjaga harta (hifzh al-mal), dan menjaga alam (hifzh al-bi’ah).
2. Moratorium Kerja Sama Asing Tanpa Kejelasan Keadilan
Islam melarang kerja sama yang memicu ketimpangan, kerusakan, atau eksploitasi (istighlal). Jika investor asing menguasai wilayah pesisir, ini rawan menjadi bentuk penjajahan baru (isti’mar).
3. Kepemimpinan Lokal dan Partisipatif
Islam menuntut pemimpin berasal dari dan dekat dengan umat. Warga pesisir harus jadi subjek pembangunan, bukan korban keputusan pejabat. Rasulullah ﷺ tak pernah bangun proyek tanpa mendengar suara rakyat.
Laut Kita Milik Umat, Bukan Tembok untuk Modal Asing
Proyek tanggul laut raksasa bisa menjadi solusi jika dibangun dengan niat yang benar, cara yang adil, dan berpihak pada rakyat. Tapi jika dijadikan komoditas untuk menarik investor asing tanpa transparansi dan partisipasi rakyat, maka Islam berdiri di barisan yang menentangnya.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Mari jaga laut Indonesia dengan prinsip Islam: menjaga, bukan merusak; melindungi rakyat, bukan menyerahkannya ke tangan asing. Karena negeri ini bukan milik investor, tetapi milik rakyat yang menitipkan amanahnya kepada para pemimpin.