FOMO Kripto dan Kapitalisme Digital: Dalam Islam, Negara Wajib Melindungi Rakyat dari Perjudian Berkedok Investasi

muslimX
By muslimX
5 Min Read

muslimx.id – Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) dalam investasi kripto tengah menjebak ribuan anak muda ke dalam pusaran kerugian dan ketidakpastian. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperingatkan bahwa banyak generasi muda kehilangan uang kuliah dan data pribadinya karena tergoda euforia cuan instan, tanpa pemahaman mendasar tentang apa itu aset kripto. Islam memandang fenomena ini tidak sekadar sebagai masalah ekonomi, tetapi juga sebagai persoalan keadilan, perlindungan, dan amanah negara terhadap rakyatnya.

Jangan Biarkan Rakyat Terjebak Judi Digital

Dalam Islam, muamalah harus didasarkan pada prinsip kejelasan (gharar) dan bebas dari spekulasi berlebihan yang menyerupai perjudian (maysir). Namun, ekosistem kripto hari ini nyaris lepas dari kendali. Anak-anak muda didorong oleh iklan glamor, komunitas daring, hingga influencer yang menjanjikan kekayaan instan. Padahal mayoritas dari mereka tak paham apa yang mereka beli, bagaimana sistem kerjanya, dan siapa yang benar-benar mengendalikan pasar tersebut.

Sebagaimana ditegaskan oleh Direktur OJK Uli Agustina, kripto bukan arena bermain tanpa risiko. Tanpa literasi, aset digital ini bisa menjelma menjadi jebakan finansial sekaligus ancaman kebocoran data pribadi. Dalam perspektif Islam, ini bukan hanya bentuk kelalaian individu, tapi juga kelalaian negara jika dibiarkan.

Negara Harus Hadir, Bukan Cuma Mengimbau

Wakil Sekjen Partai X, Aziza Mukti, menilai bahwa pemerintah hari ini terlalu permisif terhadap pasar digital. Banyak platform kripto tumbuh tanpa audit ketat, tanpa sistem perlindungan data, dan hanya mengandalkan narasi “hati-hati” sebagai tameng. Dalam Islam, negara adalah penjaga keamanan (himayah) dan keadilan (‘adl). Negara tidak boleh sekadar menjadi penonton dalam kompetisi pasar yang timpang dan menjebak rakyat kecil.

“Negara bukan wasit yang hanya meniup peluit. Negara adalah pemimpin yang harus melindungi rakyatnya dari praktik yang tidak adil,” tegas Aziza.

Literasi Tak Cukup, Harus Ada Regulasi

Islam tidak menolak kemajuan teknologi, namun menekankan bahwa setiap inovasi harus disertai dengan akhlak dan adab. Maka, literasi digital bukan hanya soal pengetahuan teknis, tapi juga soal membangun kesadaran kritis dan tanggung jawab moral. Kementerian Komunikasi dan Digital melalui Muchtarul Huda juga menyoroti pentingnya perlindungan data, karena akses melalui jaringan publik bisa menjadi pintu pencurian informasi pribadi.

Dalam Islam, data pribadi adalah amanah yang harus dijaga. Menjual data atau membiarkannya dicuri adalah pengkhianatan terhadap hak asasi manusia.

Sekolah Negarawan: Mendidik Umat, Bukan Menyesatkan

Partai X melalui program Sekolah Negarawan menyebut bahwa ekonomi digital tak bisa dilepas dari prinsip keadaban. Anak muda bukan obyek eksploitasi algoritma, tapi subjek perubahan. Dalam Islam, pendidikan adalah kunci utama membangun masyarakat beradab (madani). Maka, literasi digital dan etika bermuamalah wajib ditanamkan sejak dini, bukan diserahkan pada pasar.

“Anak muda bukan mesin spekulasi. Mereka bukan komoditas. Mereka amanah umat dan masa depan bangsa,” ujar Aziza.

Solusi Islam: Melindungi, Mengatur, dan Mendidik

Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keadilan digital, Partai X menyampaikan solusi yang sejalan dengan prinsip Islam dalam tata kelola negara:

  1. Audit Terbuka terhadap Platform Kripto
    Setiap platform harus diawasi agar bebas dari unsur penipuan (tadlis), perjudian (maysir), dan ketidakjelasan (gharar).
  2. Perlindungan Data sebagai Kewajiban Syari’ah dan Konstitusi
    Data pribadi bukan milik perusahaan, tapi milik rakyat. Islam menegaskan bahwa dharar (kerugian) harus dicegah.
  3. Pendidikan Literasi Digital dan Keuangan Wajib di Sekolah Menengah
    Literasi dalam Islam bukan hanya iqra’, tapi juga tafakur. Membaca tren tanpa pemahaman hanya akan menyesatkan.
  4. Larangan Promosi Spekulatif untuk Anak Muda di Bawah 21 Tahun
    Islam menolak segala bentuk manipulasi kesadaran, apalagi terhadap pemuda yang masih rentan.
  5. Pusat Pengaduan Nasional Digital (PPND)
    Lembaga ini menjadi hisbah modern, wadah rakyat untuk mengadukan praktik dzalim dalam transaksi digital.

Negara Tidak Boleh Netral dalam Keadilan

Islam menegaskan, Al-imam junnah pemimpin adalah pelindung. Maka negara tidak boleh netral saat pasar menjadi alat pemiskinan dan eksploitasi. Negara tidak cukup hanya mengimbau, tapi wajib hadir dengan regulasi yang adil, kuat, dan berpihak pada rakyat.

Kapitalisme digital tanpa kendali akan menjadikan rakyat korban tren, bukan pelaku perubahan. Dan dalam Islam, tidak ada tempat bagi sistem yang menjadikan kebodohan rakyat sebagai peluang keuntungan.

“Barangsiapa menipu kami, maka ia bukan bagian dari kami.” – (HR. Muslim)

Share This Article