Retret Kepala Daerah Sarat Protokol, Partai X: Dalam Islam, Kepemimpinan Itu Pelayanan, Bukan Panggung Seremonial

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id – Sejumlah kepala daerah yang mengikuti retret nasional di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) mengaku terkejut dengan aturan ketat yang diberlakukan, terutama terkait pola makan dan fasilitas selama kegiatan. Tidak diperbolehkannya membawa pendamping, ajudan, maupun staf dokumentasi, serta kewajiban tinggal bersama dan makan di ruang makan praja IPDN (Menza), dinilai sebagian peserta sebagai bentuk penyeragaman ekstrem yang tidak biasa mereka alami dalam kegiatan kenegaraan.

Retret ini diklaim bertujuan untuk membangun kedekatan antar pemimpin daerah. Namun publik bertanya-tanya, apakah pendekatan simbolik ini benar-benar efektif dalam menjawab problem struktural bangsa, atau sekadar pencitraan birokrasi?

Partai X: Islam Menuntut Kepemimpinan yang Adil, Bukan Seremonial

Anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R. Saputra, menyampaikan kritik tegas terhadap acara ini. “Yang diatur justru makan siangnya. Tapi pelayanan publik masih belum jelas arahnya. Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan umat, bukan tamu kehormatan negara,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa gaya pengawasan ketat dan seremoni pejabat seperti ini seringkali menjauhkan pemimpin dari rakyat. “Apa gunanya protokol keras kalau tidak dibarengi dengan perbaikan riil terhadap pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan di daerah?” katanya.

Dalam Islam, pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap rakyat yang ia pimpin (HR. Bukhari-Muslim). Maka, waktu dan biaya yang digunakan dalam forum semacam retret haruslah berdampak langsung pada kemaslahatan umat, bukan sekadar agenda simbolik yang berhenti di meja makan.

Prinsip Islam: Kepemimpinan adalah Amanah, Bukan Gaya Hidup Mewah

Dokumen prinsip Partai X menyebut bahwa pemerintahan harus berjalan dalam semangat khidmat lil ummah, mengabdi untuk rakyat. Dalam syariat, pemimpin ideal adalah yang paling takut akan hisab akhirat dan paling keras dalam menjaga keadilan (QS. Al-Hadid: 25).

“Ketika makan siang diatur dengan protokol ketat, tapi bocornya anggaran dibiarkan, itu berarti kita gagal membedakan antara disiplin dan keadilan,” ucap Prayogi. Islam tidak melarang penertiban, tapi mengutamakan keadilan sosial. Ketika rakyat di desa belum mendapat air bersih, listrik stabil, atau pelayanan kesehatan dasar, maka prioritas negara jelas keliru.

Solusi Islam ala Partai X: Pemimpin Ulul Albab, Bukan Ulul Gaya

Partai X mengusulkan penguatan program Sekolah Negarawan, lembaga kaderisasi kepemimpinan nasional yang berlandaskan integritas, ilmu, dan nilai-nilai tauhid. Sekolah ini menyiapkan pemimpin yang tidak hanya cakap menyusun kebijakan, tapi juga mampu tawadhu, menerima nasihat, dan hidup sederhana, sebagaimana dicontohkan Rasulullah ﷺ dan para khalifah rasyidah.

Selain itu, reformasi birokrasi berbasis digital dan transparansi publik wajib diwujudkan. Islam menuntut pengawasan (muraqabah) tidak hanya dari lembaga, tapi juga dari hati nurani dan kesadaran spiritual. “Dalam Islam, pemimpin yang membohongi rakyatnya, tempatnya bukan di istana, tapi dalam kemurkaan Allah,” ujar Prayogi.

Hukum Makan Diatur, Tapi Rakyat Masih Lapar Keadilan

Partai X menegaskan bahwa tugas pemerintah bukan menyusun tata cara makan siang, tapi menjamin rakyat bisa makan dengan layak. Negara ini tak boleh sibuk membenahi seremoni, tapi lupa mengatasi kelaparan, kebodohan, dan kesenjangan.

Retret dan simbol persatuan boleh dilakukan, tapi harus bermuara pada kebijakan yang berhikmah, adil, dan bermanfaat bagi seluruh rakyat. Bila tidak, maka kegiatan seperti ini hanya akan menjadi ironi baru di tengah krisis kepercayaan publik terhadap birokrasi.

“Dalam Islam, yang paling mulia bukan yang duduk di kursi empuk, tapi yang paling banyak manfaat bagi umat.” – (HR. Ahmad)

Share This Article