muslimx.id Presiden Prabowo Subianto baru saja meresmikan kantor megah Danantara, lembaga pengelola investasi negara, Senin (30/6). Acara tersebut berlangsung di Wisma Danantara, Jakarta, sebagai simbol dimulainya strategi besar menuju Indonesia Emas 2045. Namun, di balik gemerlapnya seremoni tersebut, pertanyaan besar mengemuka: di mana posisi rakyat kecil dalam proyek ambisius ini?
Pembangunan Danantara: Megah di Gedung, Tapi Kosong di Perut Rakyat
Meskipun pemerintah menyebut Danantara sebagai lembaga strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, sejumlah pihak mengkritisi arah kebijakan ini. Partai X menyebut bahwa pembangunan seperti ini terlalu fokus pada simbol kuasa dan mengabaikan kondisi rakyat.
“Gedungnya megah, tapi rakyat masih nganggur. Apa gunanya lembaga triliunan kalau dapur rakyat tetap kosong?” — Rinto Setiyawan, Majelis Tinggi Partai X
Kritik ini menyoroti bahwa pembangunan Islami bukanlah tentang tingginya gedung atau jumlah investasi, melainkan keadilan distribusi manfaat.
Pandangan Islam Tentang Investasi dan Keadilan Sosial
Dalam Islam, pembangunan ekonomi tidak boleh lepas dari prinsip keadilan. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188)
Artinya, jika suatu lembaga investasi negara hanya menguntungkan segelintir elite atau korporasi besar, maka itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Petani, buruh, dan UMKM harus menjadi bagian dari sistem ekonomi bukan penonton pembangunan.
Rekomendasi Partai X: Mewujudkan Investasi yang Pro-Rakyat dan Islami
Untuk menjadikan Danantara sebagai lembaga yang benar-benar Islami dan inklusif, Partai X mengajukan solusi konkret:
70% tenaga kerja dalam proyek Danantara berasal dari warga lokal.
Forum pengawas publik independen untuk mengawasi aliran dana dan pelaksanaan proyek.
Akses permodalan terbuka untuk koperasi, petani, dan usaha mikro. Langkah-langkah ini tidak hanya sejalan dengan prinsip Islam, tapi juga menjadi bentuk nyata dari distribusi keberkahan.
Kesimpulan: Pembangunan Harus Menyentuh Perut, Bukan Hanya Mata
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hari ini, rakyat tidak membutuhkan seremoni atau narasi “investasi besar”. Yang mereka butuhkan adalah pekerjaan, akses modal, dan kepastian ekonomi. Bila pembangunan hanya menguntungkan segelintir elite, maka negara sedang abai terhadap fungsi utamanya sebagai pelayan umat.
Pembangunan Islami adalah yang menghadirkan keadilan sosial, bukan sekadar potret kemewahan.