muslimx.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal Pemilu nasional dan Pilkada mulai tahun 2029 memicu kontroversi. Mantan Hakim MK, Patrialis Akbar, menyebut langkah tersebut melampaui wewenang lembaga yudikatif dan menyimpang dari konstitusi.
Putusan ini memunculkan pertanyaan mendasar: jika lembaga penjaga konstitusi justru bertindak seperti panitia teknis, siapa lagi yang bisa dipercaya menjaga keadilan dasar negara?
Jabatan adalah amanah. Tidak ada satupun pejabat, hakim, atau institusi yang berhak membuat keputusan di luar batas peran yang telah ditetapkan, meskipun dengan dalih kebaikan teknis atau efisiensi.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Partai X: Kalau MK Jadi Komite Teknis, Maka Konstitusi Sudah Tak Punya Penjaga
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa tindakan MK ini membahayakan kepercayaan publik terhadap hukum dan melemahkan pilar demokrasi.
“Kalau Mahkamah Konstitusi sudah seperti panitia teknis pemilu, siapa lagi yang jaga konstitusi?” ujarnya.
Fungsi Hakim harusnya memutus perkara berdasarkan kebenaran, bukan menciptakan sistem di luar wilayah hukum yang telah ditetapkan. Ketika lembaga yudikatif mencampuri ranah legislatif atau eksekutif, maka amar ma’ruf nahi munkar dalam tata kelola negara menjadi rusak.
“Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan.” (QS. Al-An’am: 21)
Konstitusi Itu Amanah, Bukan Materi Workshop
Putusan MK yang menetapkan bahwa pemungutan suara Presiden, DPR, dan DPD akan digelar serentak, sementara Pilkada dan DPRD dilakukan dua tahun kemudian, dianggap sebagai tindakan di luar mandat.
Partai X menilai, keputusan tersebut bukan hanya persoalan prosedur, tetapi tanda melemahnya batas kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan.
Dalam Islam, jabatan yang tidak terbatas adalah bentuk kesewenang-wenangan, dan setiap bentuk kekuasaan yang tidak dikontrol oleh hukum akan menjurus kepada fasad (kerusakan).
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Solusi: Tegaskan Batas, Bersihkan Tafsir Kekuasaan
Sebagaimana Islam mengatur batas-batas peran antara ulil amri, qadhi (hakim), dan amilin (eksekutif), Partai X mengusulkan langkah-langkah korektif berikut:
- Revisi UU MK Secara Limitatif dan Jelas
Agar kekuasaan MK tidak multitafsir. Dalam fiqh siyasah, batas kewenangan harus ditentukan berdasarkan maslahah ‘ammah (kepentingan umum), bukan ijtihad personal lembaga. - Bentuk Dewan Etik Konstitusi Independen
Lembaga pengawasan yang menegur jika MK keluar dari garis syariah konstitusional. Dalam Islam, hisbah atau pengawasan lembaga sangat penting untuk menekan tirani hukum. - Libatkan Partisipasi Publik dalam Penjadwalan Pemilu
Prinsip syura (musyawarah) harus ditegakkan agar keputusan terkait Pemilu melibatkan suara rakyat, bukan hasil ruang sidang tertutup. - Penafsiran Konstitusi Harus Kolektif dan Terbuka
Bukan berdasarkan kehendak satu atau dua hakim, tetapi berdasarkan ilmu tata negara yang adliyyah, adil dan menjunjung maqashid syariah (tujuan utama hukum).
Penutup: Ketika Hakim Melampaui Batas, Maka Runtuhlah Penjaga Keadilan
Hakim (qādī) adalah seseorang yang diberi amanah untuk menegakkan hukum dan keadilan di bumi. Ia menjalankan tugas yang sangat mulia dan berat, karena berhubungan langsung dengan hak-hak manusia dan penerapan syariat.
“Barang siapa yang memimpin suatu urusan kaum Muslimin, lalu ia menipu mereka, maka neraka tempatnya.” (HR. Abu Dawud)
Partai X mengingatkan bahwa konstitusi bukan ruang fleksibel untuk kepentingan penguasa, tapi batas tegas yang menjaga rakyat dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Kalau semua lembaga mulai mengatur teknis, siapa yang menjaga nilai?