muslimx.id — Komisi III DPR RI kembali menyerukan pentingnya partisipasi publik dalam proses legislasi nasional. Wakil Ketua Komisi III, Sari Yuliati, menegaskan bahwa keterlibatan rakyat bukan sekadar pelengkap prosedural, tetapi bagian dari prinsip good governance yang dijamin Undang-Undang.
Keterlibatan rakyat dalam pembentukan hukum bukan hanya persoalan demokrasi prosedural. Itu adalah bagian dari amanah jabatan dan syura (musyawarah) yang menjadi fondasi pemerintahan adil dalam Islam.
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Jika rakyat hanya dilibatkan setelah undang-undang jadi, maka itu bukan musyawarah. Itu manipulasi. Dan hukum yang disahkan tanpa partisipasi publik sejatinya kehilangan legitimasi moralnya.
Partai X: Demokrasi Tak Bisa Dibangun dari Sidang-Sidang Sunyi
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyebut pernyataan DPR itu ironis. “Rakyat diajak bicara, tapi naskah UU sudah matang. Apa itu partisipasi?” ujarnya.
Menurutnya, banyak undang-undang di Indonesia dari UU KUHP baru, revisi UU Minerba, hingga Omnibus Law, justru dibahas dalam sunyi, tanpa transparansi, dan penuh kepentingan kelompok.
Pemerintahan yang adil adalah yang mendengarkan rakyatnya sebelum mengambil keputusan. Rasulullah ﷺ bahkan dalam urusan perang pun bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Maka, apa jadinya jika undang-undang negara dibentuk tanpa mendengar rakyat?
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rakyat Hanya Penonton di Proses Legislasi?
Ketika prosesnya tertutup, formalistik, dan penuh istilah hukum yang tidak dipahami publik, maka keadilan sedang diperdagangkan di meja kekuasaan.
Islam tidak mengakui hukum yang tidak berpihak kepada kemaslahatan umat. Sebab hukum sejati adalah hukum yang membebaskan, bukan membelenggu hukum yang mendidik, bukan menghukum tanpa suara.
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Solusi Partai X: Hukum Harus Tunduk kepada Rakyat, Bukan Sebaliknya
Partai X menawarkan reformasi legislasi dengan prinsip partisipasi bermakna dan deliberatif sebagai berikut:
- Buat platform daring & luring terbuka untuk partisipasi rakyat dalam penyusunan UU.
- Wajibkan publikasi naskah akademik minimal 30 hari sebelum sidang pembahasan.
- Poin krusial undang-undang wajib dibahas secara publik lewat forum komunitas sipil dan perguruan tinggi.
- Evaluasi kembali UU kontroversial yang disahkan tanpa persetujuan rakyat.
- Libatkan tokoh agama, ormas Islam, komunitas adat, dan organisasi pemuda dalam penyusunan RUU sejak tahap awal.
Kesimpulan: Islam Menyerukan Legislasi Berbasis Rakyat
Undang-undang tidak boleh menjadi produk kamar gelap, lalu dijual kepada rakyat sebagai kebenaran hukum. Hukum harus bersumber dari ijtihad kolektif, yang mendengarkan suara masyarakat dan mendahulukan kemaslahatan.
Jika undang-undang lahir tanpa aspirasi umat, maka hukum itu cacat secara moral meskipun sah secara administratif. Dan jika rakyat hanya diajak bicara setelah semuanya jadi, itu bukan demokrasi itu bentuk lain dari dominasi kekuasaan.
“Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan), supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)