muslimx.id – Pemerintah melalui Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menargetkan produksi beras Indonesia sebesar 33,8 juta ton pada tahun 2026. Target ini naik dari tahun sebelumnya, seiring dengan upaya swasembada pangan yang digunakan dalam program Astacita Presiden Prabowo Subianto.
Namun, dari sudut pandang Islam, kebijakan pangan tak bisa diukur hanya dari angka dan tonase. Kesejahteraan petani, sebagai pelaku utama produksi harus menjadi fondasi kebijakan, bukan sekadar dampak ikutan.
“Dan janganlah kamu memakan harta orang lain dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa urusan itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan (jalan berbuat) dosa…” (QS. Al-Baqarah: 188)
Ketika negara memaksa swasembada tapi membiarkan petani menanggung utang, sulit mengakses pupuk, dan menjual gabah di bawah biaya produksi, maka itu adalah bentuk kezaliman struktural.
Partai X: Target Produksi Naik, Tapi Nasib Petani Terjun Bebas
Menanggapi target tersebut, Partai X melalui Prayogi R. Saputra menilai bahwa keberhasilan produksi tidak berarti apa-apa jika petani masih hidup dalam tekanan. “Petani bukan mesin. Mereka manusia yang butuh jaminan hidup, bukan hanya disuruh menghasilkan,” tegasnya.
Dalam Islam, perlakuan terhadap pekerja (termasuk petani) harus adil, bahkan sebelum hasil kerjanya dinikmati. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya mengering.” (HR. Ibnu Majah, no. 2443)
Maka membiarkan petani bekerja keras tanpa hasil yang sepadan, hanya demi angka produksi nasional, adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Islam Mengajarkan Pertanian yang Berkeadilan
Islam memuliakan pertanian dan para petaninya. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:
“Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman, lalu tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, konteks hari ini menunjukkan bahwa petani kerap menjadi korban. Subsidi tak sampai ke tangan mereka, harga gabah jatuh, tanah-tanah produktif dikuasai korporasi besar. Dalam pandangan Islam, sistem yang merugikan kelompok lemah dan menguntungkan segelintir oknum adalah sistem yang fasid (rusak).
“Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Solusi Islam: Negara Wajib Melindungi Pelaku Produksi, Bukan Hanya Meminta Angka
Solusi dari Partai X seperti distribusi pupuk berbasis komunitas, koperasi tani yang kuat, dan penetapan harga gabah secara musyawarah, selaras dengan prinsip muamalah Islam, di mana keadilan dan keterlibatan langsung masyarakat menjadi kunci ekonomi yang sehat.
Islam juga mendorong syura (musyawarah) dalam menentukan kebijakan publik, termasuk kebijakan pangan:
“…dan (bagi mereka) urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Jika kebijakan pangan dibuat tanpa melibatkan suara petani, maka sistem itu cacat dari segi maqashid syariah, karena gagal menjaga jiwa (hifzh al-nafs), harta (hifzh al-mal), dan keadilan sosial.
Kesimpulan: Swasembada Tak Berarti Jika Petani Tetap Terjajah
Pemerintah boleh menargetkan angka setinggi langit. Tapi selama petani tetap miskin, tak punya kuasa atas lahannya sendiri, dan menjadi korban pasar serta kebijakan oknum, maka swasembada hanyalah kosmetik politik.
Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan petani adalah cerminan keberkahan negeri. Jika mereka sejahtera, maka keberkahan akan turun, sebagaimana Allah janjikan:
“Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS. Al-A’raf: 96)