Khutbah Jumat Edisi 26 September 2025: Pajak & Kecurangan

muslimX
By muslimX
12 Min Read

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ

فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلْقٍ حَسَنٍ

Kaum Muslimin sidang Jum’at rahimakumullah,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dengan kasih sayang-Nya, kita dapat berkumpul di tempat ibadah ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Allah belum pernah mengulang pertanyaan yang sama sebanyak 31x dalam suatu hal, kecuali dalam persoalan nikmat. Allah mengulang pertanyaan ‘maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?’ pada surah ar-Rahman bermaksud untuk menyeru secara lembut agar manusia merenung. Sebab, terkadang kita sibuk menghitung yang hilang, hingga lupa pada nikmat yang masih Allah titipkan nafas yang berhembus, keluarga yang membersamai, dan waktu yang tersisa untuk bertaubat guna memperbaiki diri. Semoga, kita semua tidak dibiarkan lalai dari rasa syukur sehingga menjadi kufur. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Pada khutbah kali ini, Khatib mengangkat satu tema dalam al-Qur’an yang menceritakan tentang orang-orang kufur nikmat. Kekufuran itu tercermin dalam sikap mereka yang berbuat kecurangan. Surah al-Muthaffifin -yang berarti orang-orang yang berbuat kecurangan- secara khusus mengajarkan pada kita, sebagian ciri-ciri dari orang-orang yang curang itu.

Pada awal surah, setidaknya ada tiga ciri yang disebutkan. Pertama, (baca ayat kedua) apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Ciri yang kedua (ayat ketiga), (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk

orang lain, mereka kurangi. Kemudian yang ketiga, disebutkan ciri orang-orang yang curang adalah menduga bahwa hari pembalasan tidak pernah ada, sehingga mereka bisa berbuat semaunya di dunia.

Salah satu alasan mengapa al-Qur’an mengangkat tema orang-orang yang berbuat curang tidak lain karena Allah tidak menghendaki hamba-Nya berbuat kecurangan, karena yang demikian bisa bertentangan dengan Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan. Bahkan alam raya saja diciptakan atas dasar keadilan. Disebutkan dalam surah ar-Rahman ayat 7 (baca sampai ayat 9); wa as-sama arafa’aha wa wadha’a al-mizan. .

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Pada bagian pertama surat ini, Allah menunjukkan

“keheranannya” pada orang-orang yang berbuat curang ‘apakah mereka tidak sadar bahwa mereka akan dibangkitkan sesudah mati, dan mereka dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta? Manusia harusnya sadar bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, dan bahwa kehidupan dunia hanyalah la’bun wa lahwun.

Kalau manusia sadar, bahwa dibandingkan dengan kehidupan akhirat beserta kenikmatan-kenikmatannya, kenikmatan dunia ini hanyalah setetes air di tengah samudera luas yang tak terbatas, maka manusia pasti tidak akan tergiur dengan kehormatan duniawi yang semu, sehingga harus melakukan kecurangan untuk meraih kenikmatan. Kalau manusia sadar, bahwa di dunia ini, dia bisa saja mengelak dari pengawasan aparat, bisa mengelabuhi penegak hukum, bahkan bisa melakukan rekayasa perkara, tetapi apakah manusia bisa mengelak dari pencatatan malaikat? Apakah bisa bersembunyi dari pengawasan Ilahi? Maka manusia pasti akan berpikir seribu kali untuk melakukan kecurangan.

Ajaran Islam datang untuk merombak tata nilai jahiliyah seperti riba, kecurangan, eksploitasi, monopoli, perbudakan, dan sejenisnya. Tata nilai jahiliyah ini telah melahirkan pembesar-pembesar Quraisy yang kaya raya dan menguasai secara tidak adil sumber-sumber daya ekonomi di Arab, dan pada sisi lain terdapat sekian banyak rakyat miskin yang tertindas. Maka, ketika Nabi Muhammad SAW datang untuk merombak tata nilai jahiliyah itu, para elit Arab menganggapnya sebagai sebuah ancama serius terhadap hegemoni kekuasaan yang mereka lakukan.

Inilah yang sesungguhnya menjadi alasan utama para pembesar Arab untuk menolak kehadiran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kalau saja Nabi hanya membawa kalam Ilahi tanpa adanya nilai-nilai politik-ekonomi yang direvolusi, mungkin saja mereka -kafir Quraisy-  tidak akan menentang Nabi. Ini

yang menjadi catatan untuk kita semua, bahwa Islam tidak hanya mengajarkan peribadatan, tetapi juga termasuk nilai-nilai sosial, politik, dan ekonomi yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah Nabi. Oleh karena itu, panji tauhid harus ditegakkan secara bersamaan dengan keadilan. Keduanya tak bisa dilepaskan, sebab kalimat Laa ilaha illallah adalah seruan untuk melawan kemungkaran.

Ma’asyiral Muslimin yang dimuliakan Allah,

Kita hidup di zaman, di mana nilai-nilai jahiliyah, salah satunya adalah kecurangan, masih menjadi warna yang sangat dominan. Mereka -al-Muthaffifin- yang dikutuk oleh Allah dengan kata ‘wailun’ itu tidak hanya sebatas urusan perniagaan saja. Bisa saja dalam urusan pemerintahan. Pajak misalnya, baru-baru ini pemerintah gencar memburu rakyat agar taat membayar pajak sementara ketika rakyat meminta pertanggungjawaban untuk apa uang pajak tersebut digunakan justru jawaban yang diberikan jauh dari kata transparan.

Bahkan jika dilihat lingkungan sekitar kita, agaknya penyerapan pajak yang dilakukan pemerintah tak sebanding dengan fasilitas publik yang diakses oleh rakyat; akses kesehatan yang kurang baik, jalan rusak penuh lubang dan gelombang, biaya pendidikan yang tak masuk akal dan sebagainya. Hal semacam ini, ternyata sudah tertulis dalam al-Qur’an 1.500 tahun lalu. Persis dengan apa yang digambarkan oleh surah al-Muthaffifin tadi, “celakalah orang-orang yang curang, yaitu orang (bisa pejabat atau pemerintah) yang apabila meminta takaran (pajak) dari orang lain (rakyat) mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar (membuat kebijakan) untuk rakyat, mereka mengurangi (korupsi).”

Belum lagi, kecurangan yang dilakukan pelayan rakyat untuk memanipulasi hukum dan konstitusi. Mereka mengubah undang-undang agar sesuai dengan kepentingan golongan mereka sendiri. Dalam hal ini, Nabi pernah mengingatkan kepada kita bahwa jumlah hakim yang adil tak lebih banyak daripada hakim yang berbuat curang. Hingga dilukiskan dua di antaranya berada di neraka, sedang yang satu (adil) di surga. (HR. Ibnu Majah, no. 2315; Tirmidzi, no. 1322; Abu Dawud, no. 3573; lafazh hadits ini bagi Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Albani, Ahmad Syakir, Syu’aib al-Arnauth, dll)

الْقُضَاةُ ثَلَاثَةُ اثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ لَقُلْنَا إِنَّ الْقَاضِيَ إِذَا اجْتَهَدَ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Selain mengecam kecurangan dalam bentuk yang Khatib sebutkan, tidak kalah penting bagi kita untuk menilik diri sendiri. Kalau kita sebagai pedagang, adakah

kita sudah membersihkan perniagaan kita dari berbagai bentuk kecurangan, apakah itu menyangkut timbangan, ukuran, keaslian, dan kualitas barang yang kita perdagangkan. Kalau kita seorang juragan, sudahkah kita memenuhi hak-hak para buruh yang bekerja pada kita. Sudahkah kita membayar mereka secara adil dan pantas sesuai dengan pekerjaan mereka, dan sudahkah kita membayar mereka pada waktunya seperti ajaran Rasul; “sebelum kering keringatnya”.

Kalau kita sebagai rakyat, sudahkah kita mencerminkan keadilan sejak dalam pikiran. Sehingga tidak menolak kebatilan dalam bentuk korupsi dan sebagainya hanya karena belum dapat kesempatan melakukan. Melainkan karena memang perbuatan itu adalah kebatilan dan tidak sesuai dengan yang Allah perintahkan dan Rasul ajarkan.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Apa yang Khatib sampaikan sebelumnya hanyalah sekadar contoh, dan masing-masing dari kita dapat melakukan muhasabah terhadap diri sendiri. Di manapun kita bekerja, sebagai apa kita bekerja, dan bahkan dalam berbagai segi kehidupan kita. Hendaknya, kita bertekad untuk terus menegakkan kejujuran serta keadilan dan menjauhkan diri dari kecurangan.

Mengingat, orang-orang yang curang digolongkan oleh surah al-Muthaffifin tadi dalam kelompok Fujjar (orang-orang yang durhaka) yang akan menerima siksa. Sementara orang-orang yang penuh kebaikan digolongkan dalam kelompok Abrar. Dua kata tersebut memang menggunakan jamak taksir. Jamak taksir, dalam morfologi bahasa Arab minimal terdiri dari tiga bentuk; jamak qillah digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang banyak tapi dalam jumlah minimal. Di antara pola kata dari jamak qillah adalah af’al (أﻓﻌﺎل). Kemudian ada jamak katsrah kebalikan dari itu, dalam arti maksimal. Di antara pola katanya adalah fu’aal (ﻓّﻌﺎل). Lalu ada juga yang disebut jamak muntahal jumu’, dalam arti banyak yang tak terbatas.

Kalau kita perhatikan, orang-orang baik (abrar) digambarkan al-Qur’an menggunakan jamak qillah; jamak dalam artian minimal. Sedangkan orang-orang buruk/curang digambarkan menggunakan pola kata dari jamak katsrah yang berarti jumlahnya lebih banyak (maksimal) daripada yang baik tadi.

Termasuk ke dalam golongan apakah diri kita -Saya dan Anda-? Mari kita tanyakan pada diri kita sendiri. Semoga Allah selalu meridhoi langkah kita untuk berupaya menjadi orang-orang baik agar masuk dalam golongan yang memperoleh nikmat akhirat atau Abrar dan dijauhkan dari golongan curang atau Fujjar yang akan menerima siksa neraka abadi selamanya.

Aamiin aamiin ya Rabbal ‘alamin.

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَيَا فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِينَ

KHUTBAH II

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ. وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَامِ أَمَّا بَعْدُ

فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اَللَّهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَعَنْ أَصْحَابِ نَبِيِّكَ أَجْمَعِيْنَ. وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعِ التَّابِعِينَ وَ تَابِعِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ

عِبَادَ اللَّهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ يَذْكُرْكُمْ وَ اشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

Share This Article