muslimx.id — Pemerintah tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang diklaim lebih menghormati hak asasi manusia (HAM). Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menyatakan bahwa prinsip HAM dalam RUU ini berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
RUU ini akan menggantikan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964. Pemerintah menilai, pembaruan diperlukan agar pelaksanaan pidana mati sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan peradaban modern.
Dalam rancangan tersebut, pemerintah memberikan beberapa hak baru bagi narapidana mati, seperti hak atas hunian layak, akses komunikasi dengan keluarga, serta larangan penggunaan alat pengekangan berlebihan.
Selain itu, pelaksanaan pidana mati diatur lebih ketat: terpidana harus melalui masa percobaan, menolak perbaikan, dan telah mengajukan grasi yang ditolak. Pemerintah juga membuka opsi eksekusi lain seperti injeksi atau kursi listrik, menggantikan metode tembak mati.
Kritik: HAM Jangan Hanya Jadi Paragraf dalam Undang-Undang
Menanggapi hal ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X Rinto Setiyawan menegaskan bahwa perlindungan HAM tidak boleh berhenti di atas kertas.
“Negara punya tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. RUU ini baru memenuhi satu: mengatur,” ujarnya tegas.
Menurutnya, semangat perlindungan HAM harus diwujudkan dalam praktik hukum yang adil, transparan, dan bebas intervensi kekuasaan. Jangan sampai RUU ini hanya menjadi “simbol moral” tanpa perubahan nyata di lapangan.
Ia juga menekankan, HAM bukan hanya milik orang yang tidak bersalah, tetapi hak semua manusia, bahkan mereka yang telah melakukan kesalahan. Proses hukum harus menghormati hak terdakwa sejak penyidikan hingga pelaksanaan hukuman.
Pandangan Islam: Menjaga Nyawa adalah Prinsip Suci Syariat
Dalam Islam, nyawa (nafs) memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Menjaga nyawa termasuk dalam lima tujuan utama syariat (maqashid syariah), sejajar dengan menjaga agama, akal, keturunan, dan harta.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hindarilah menjatuhkan hukuman hudud (pidana berat) terhadap kaum Muslimin sebisa mungkin. Jika ada jalan keluar, maka lepaskanlah. Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) lebih baik salah dalam memaafkan daripada salah dalam menghukum.” (HR. Tirmidzi dan Al-Baihaqi)
Hadits ini menunjukkan prinsip kehati-hatian luar biasa dalam menjatuhkan hukuman mati, agar tidak ada satupun nyawa yang hilang karena kesalahan sistem atau proses hukum yang tidak adil.
Solusi: Reformasi Hukum yang Menjaga Kehormatan Manusia
Islam tidak menolak pidana mati dalam kondisi tertentu, namun pelaksanaannya wajib melalui proses hukum yang bersih, adil, dan ketat, dengan tujuan menegakkan kemaslahatan, bukan pembalasan semata. Beberapa prinsip penting yang sejalan dengan ajaran Islam antara lain:
- Audit keadilan secara menyeluruh terhadap kasus pidana mati, untuk menghindari vonis salah.
- Pendampingan hukum manusiawi, termasuk psikologis dan spiritual.
- Pengawasan publik dan komisi independen, sebagaimana prinsip hisbah dalam Islam.
- Pendidikan hukum berlandaskan nilai kemanusiaan dan takwa, bukan hanya teknis legalistik.
Penutup: Hukum Allah Menjunjung Nyawa dan Keadilan
RUU pidana mati harus dipastikan tidak sekadar menjadi teks, tetapi benar-benar menjamin keadilan dan kemanusiaan. Islam mengingatkan bahwa nyawa manusia adalah amanah besar, dan kesalahan dalam menjatuhkan hukuman mati adalah dosa berat di sisi Allah.
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra: 33)
Jika negara ingin menegakkan hukum mati, maka prosesnya harus benar-benar adil, transparan, dan menghormati martabat manusia sebagaimana nilai yang diajarkan oleh Islam keadilan yang seimbang dengan kasih sayang.