muslimx.id — Di tengah kabar beban utang negara yang telah menembus Rp9.138 triliun per Juni 2025, suara keprihatinan datang dari berbagai kalangan. Tidak hanya dari partai, tetapi juga dari nilai-nilai Islam yang menegaskan pentingnya keadilan dan tanggung jawab dalam mengelola amanah publik.
Islam menempatkan kepemimpinan dan pengelolaan harta negara sebagai amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Karena itu, utang negara bukan sekadar angka dalam laporan fiskal, tetapi janji moral yang kelak ditanggung oleh generasi penerus bangsa.
Islam tidak melarang berutang selama dilakukan dengan niat baik dan dalam batas kemampuan untuk membayar. Namun, beban utang yang menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat bertentangan dengan prinsip keadilan yang diajarkan Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)
Ayat ini mengingatkan agar pengelolaan harta termasuk kebijakan fiskal negara dilakukan dengan keseimbangan, tidak boros, dan tidak menjerumuskan pada kesulitan yang justru menimpa rakyat.
Menurut pemahaman Islam, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang diembannya. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks bernegara, hal ini berarti pejabat publik wajib memastikan bahwa setiap keputusan ekonomi tidak mengorbankan kesejahteraan rakyat banyak.
Rakyat Tidak Boleh Jadi Korban Angka Utang Negara
Kebijakan ekonomi yang berbasis utang seharusnya diarahkan untuk memperkuat kesejahteraan rakyat, bukan sekadar memperindah laporan keuangan atau menutupi defisit sementara. Islam menekankan prinsip keberkahan, bukan hanya pertumbuhan.
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Ayat ini menegaskan bahwa ekonomi yang tumbuh dari ketimpangan dan ketidakadilan tidak akan membawa keberkahan. Ketika utang dipakai untuk proyek yang tak menyentuh kepentingan rakyat, maka itu bukan pembangunan, melainkan pembebanan.
Islam Serukan Pemerintahan yang Amanah dan Efisien
Islam mengajarkan bahwa negara dan pemerintah bukanlah pemilik kekuasaan, tetapi pelayan amanah publik. Pemerintah harus mengelola keuangan negara dengan efisiensi, transparansi, dan tanggung jawab spiritual.
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa’: 58)
Ayat ini menjadi fondasi etika pemerintahan: keadilan dan amanah adalah dua pilar yang tidak boleh ditukar dengan kepentingan kekuasaan.
Kembali pada Prinsip Ekonomi Berkeadilan
Islam menawarkan solusi agar bangsa tidak terus terjebak dalam lingkaran utang dan ketimpangan. Prinsip zakat, wakaf produktif, serta ekonomi berbasis keumatan adalah alternatif yang menguatkan kemandirian fiskal tanpa menekan rakyat.
Pemerintah harus memastikan setiap kebijakan ekonomi berpihak pada yang lemah, bukan pada korporasi besar. Rakyat bukan objek pengorbanan, melainkan subjek pembangunan.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Dengan demikian, pesan Islam jelas: negara boleh berutang untuk kemaslahatan, tapi tidak boleh menjadikan rakyat korban demi angka. Karena di hadapan Allah, bukan grafik ekonomi yang akan ditanya melainkan seberapa adil pemimpin menunaikan amanahnya terhadap rakyat.