muslimx.id – Polemik pembentukan kolegium dokter oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memantik kekhawatiran baru di dunia medis. Ketua Bidang Dokter Diaspora Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Iqbal Mochtar, memperingatkan bahwa langkah ini dapat menghapus independensi kolegium lama dan mengancam keselamatan pasien.
Dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Iqbal mencontohkan usulan agar dokter umum diperbolehkan memasang cincin jantung hanya dengan pelatihan singkat. Ia menilai, kebijakan semacam itu tidak hanya mengabaikan kompetensi medis, tapi juga membuka ruang bahaya bagi nyawa manusia.
“Kolegium bukan sekadar struktur, tapi benteng etika profesi. Jika negara memonopoli pengawasan, yang hilang bukan hanya independensi, tapi juga nyawa pasien,” ujarnya.
Islam Ingatkan: Ilmu Harus Dipegang oleh Ahlinya
Dalam pandangan Islam, pengelolaan urusan publik harus diberikan kepada orang yang ahli di bidangnya. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:
“Dan apabila urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhari)
Ayat dan hadis ini menjadi peringatan keras tanggung jawab medis bukanlah ruang eksperimen kekuasaan. Ilmu kedokteran adalah amanah besar yang menyangkut hidup manusia, bukan proyek politik yang bisa diganti dengan peraturan sepihak.
Maka ketika negara mulai menukar standar kompetensi dengan instruksi birokrasi, sesungguhnya ia telah melanggar prinsip dasar keadilan dan akal sehat. Dalam konteks ini, UU Kesehatan yang memberi wewenang besar kepada Kemenkes atas etika profesi dokter dinilai banyak pihak sebagai kemunduran moral dalam tata kelola profesi.
Partai X: Negara Tak Boleh Menukar Nyawa Pasien dengan Target Kekuasaan
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Diana Isnaini, turut bersuara keras. Ia menegaskan bahwa kebijakan kesehatan tidak boleh diarahkan oleh kepentingan kekuasaan.
“Negara harus melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat dengan akal sehat, bukan dengan ambisi penguasa,” ujarnya.
Partai X menilai, kolegium bentukan Kemenkes berpotensi menurunkan standar keselamatan pasien karena mengaburkan batas antara pengawas dan pelaksana kebijakan.
“Jika pemerintah menjadi penguasa tunggal atas profesi, maka pasien menjadi korban pertama,” tegas Diana.
Profesi kedokteran tanpa etika adalah kehancuran ilmu. Ketika birokrasi mengambil alih fungsi moral dan disiplin profesi, hilanglah integritas pengetahuan.
Partai X menilai, pemerintah tidak boleh menjadi pemilik tunggal atas pengetahuan dan kompetensi. Negara hanyalah pelayan rakyat (khadim al-ummah), bukan pengendali mutlak atas profesi.
Solusi: Kesehatan yang Independen, Etis, dan Transparan
Partai X mendorong reformasi sistem kesehatan dengan prinsip keadilan, amanah, dan kedaulatan profesi. Beberapa langkah konkret yang mereka tawarkan antara lain:
- Kembalikan independensi kolegium di bawah organisasi profesi yang memiliki legitimasi ilmiah dan moral, bukan di bawah kendali birokrasi.
- Bentuk Dewan Etik Medis Nasional berisi dokter sejawat dan tokoh publik, bukan pejabat pemerintahan.
- Transparansi dalam pembiayaan pendidikan dan sertifikasi dokter, agar tidak menjadi ladang pungutan baru.
- Libatkan universitas, ulama, dan masyarakat dalam penyusunan kebijakan kesehatan.
- Perkuat pendidikan etika profesi berbasis nilai Islam, agar dokter tidak hanya cerdas secara klinis, tapi juga sadar amanah spiritual.
Penutup: Kesehatan Adalah Amanah, Bukan Alat Kekuasaan
Kesehatan adalah urusan kemanusiaan. Tidak boleh ada campur tangan kekuasaan yang mengancam keselamatan jiwa.
Allah berfirman:
“Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.” (QS. Al-Mā’idah: 32)
Maka setiap kebijakan kesehatan yang lalai terhadap etika sejatinya telah mengkhianati amanah Ilahi.
Negara tidak boleh membiarkan pasien menjadi korban eksperimen pemerintah. Reformasi kesehatan sejati bukan soal aturan baru, tapi keberanian untuk mengembalikan ilmu kepada ahlinya dan amanah kepada yang berhak.