muslimx.id – Kita semua tahu, tanggal 22 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Tanggal ini bukan sekadar seremoni, tapi mengingatkan kita pada satu peristiwa monumental. Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Dalam fatwa itu, para ulama menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajahan adalah fardhu ‘ain kewajiban setiap muslim. Inilah bukti bahwa Islam tidak memisahkan keimanan dari kebangsaan. Bahwa jihad bukan hanya di medan perang, tetapi juga di medan perjuangan mempertahankan kedaulatan dan keadilan.
Santri dan kiai saat itu tidak menunggu perintah dari istana, mereka bergerak karena iman dan tanggung jawab kepada Allah. Darah mereka tumpah bukan demi partai, bukan demi kekuasaan, tetapi demi tegaknya kalimat La ilaha illallah di bumi merdeka bernama Indonesia.
Jihad Santri Kiai: Politik yang Bermoral
Dalam sejarahnya, para ulama dan santri tidak buta terhadap politik. Mereka memahami bahwa politik adalah bagian dari mengatur kehidupan umat. Tetapi pemerintah dalam pandangan para kiai adalah pemerintah yang beradab, pemerintah yang berpihak pada rakyat, dan pemerintah yang menegakkan kebenaran bukan menumpuk kekuasaan.
Dulu, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Dahlan, dan tokoh-tokoh Islam lain terjun ke dunia kebangsaan untuk menjaga moral bangsa, bukan untuk memperalat umat.
Sekarang, sayangnya, pemerintah sering kehilangan ruh jihad itu. Banyak yang menjadikan sekadar panggung pencitraan, bukan ladang pengabdian. Padahal, jika santri dan kiai dulu rela berkorban nyawa demi bangsa, maka seharusnya hari ini para pemimpin rela mengorbankan kepentingan diri demi rakyat.
Makna Jihad di Zaman Merdeka
Jihad hari ini bukan lagi dengan senjata, tetapi dengan kejujuran, ilmu, dan kerja nyata. Jihad melawan korupsi, jihad melawan kebodohan, jihad melawan ketidakadilan sosial, dan jihad melawan penguasa yang menipu umat.
Santri dan kiai harus kembali menjadi pelita moral bangsa. Bangsa ini tidak akan hancur karena kekalahan militer, tapi karena hilangnya moral dan kejujuran para pemimpin.
Maka, setiap dari kita wajib meneladani jiwa jihad para ulama pendiri bangsa, jujur dalam amanah. Tegas melawan kebatilan. Dan berani berkata benar walau di depan kekuasaan. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Sebaik-baik jihad adalah kalimat yang benar dihadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Kini, jihad itu harus kita lanjutkan dalam bentuk baru, jihad melawan kemalasan, jihad menegakkan kebenaran, jihad menjaga keutuhan bangsa dari fitnah dan kebencian.
Santri sejati bukan hanya yang hafal kitab, tapi juga yang menghidupkan nilai kitab dalam kehidupan bangsa. Kiai sejati bukan hanya yang berfatwa, tapi yang berani menegakkan kebenaran walau pahit.
Penutup: Doa dan Harapan
Negeri ini tidak butuh pemimpin yang licik, tapi butuh pemimpin yang berjiwa kejujuran. Pemimpin yang jujur, sederhana, adil, dan mengabdi pada umat. Jiwa merdeka yang diwariskan para kiai harus kita jaga agar bangsa ini tidak dijajah kembali oleh hawa nafsu, uang, dan kekuasaan.
Ya Allah jadikanlah kami penerus jihad para ulama, pemberani dalam kebenaran, dan mengabdi bagi negeri. Tanamkan dalam diri kami jiwa santri dan semangat kiai: ikhlas, jujur, dan berani karena Engkau.