muslimx.id — Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengungkapkan, defisit APBN bisa menembus lebih dari 3 persen jika tidak ditopang penerimaan dari cukai rokok. Hingga 30 September 2025, defisit telah mencapai Rp371,5 triliun atau 1,56 persen dari PDB, sementara target defisit 2025 ditetapkan 2,78 persen.
Menurut Misbakhun, penerimaan cukai rokok menjadi penyangga utama APBN. “Kalau perusahaan tidak bayar cukai di muka, defisit kita bisa lebih besar,” ujarnya. Namun, dibalik angka itu tersimpan kenyataan pahit: negara terlalu bergantung pada rokok, sementara petani tembakau tetap miskin dan rakyat makin terbebani oleh harga dan pajak.
Partai X: Ketergantungan Fiskal yang Tak Sehat
Partai X menilai pernyataan tersebut sebagai sinyal bahaya kemandirian ekonomi nasional. Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menyebut bahwa ketergantungan negara terhadap cukai rokok adalah indikasi lemahnya diversifikasi penerimaan negara.
“Jika negara hidup dari asap rokok, maka rakyat yang menanggung polusinya,” tegas Prayogi.
Ia menambahkan, tugas pemerintah ada tiga melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tetapi kini, rakyat kecil justru menjadi korban dari sistem ekonomi yang timpang.
“Petani tembakau tidak mendapat subsidi, sementara cukai diperas untuk menambal APBN. Ini ironi fiskal yang menyesakkan,” lanjutnya.
Bagi Partai X, ekonomi bangsa tak boleh bertumpu pada kebiasaan konsumtif dan adiktif seperti rokok. Ketergantungan fiskal terhadap cukai adalah tanda kemunduran moral kebijakan negara.
Pandangan Islam: Rezeki Halal, Kebijakan yang Mensucikan
Islam menegaskan bahwa keberkahan ekonomi tidak diukur dari besar kecilnya pendapatan, melainkan dari sumber dan manfaatnya.
Allah ﷻ berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 172)
Penerimaan negara dari rokok memang besar, tapi bersumber dari sesuatu yang membahayakan tubuh dan akal manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, negara tidak seharusnya membangun kekuatan fiskal dari sumber yang mematikan rakyatnya. Islam menegaskan prinsip tathhīr (penyucian harta) bahwa rezeki yang kotor tidak akan membawa keberkahan meski tampak melimpah.
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Ketika negara hidup dari cukai rokok, maka sesungguhnya ia menggantungkan hidup pada penderitaan rakyatnya sendiri. Itu bukan hanya krisis ekonomi, tetapi krisis moral dan spiritual.
Solusi Partai X: Reformasi Fiskal Berbasis Keadilan dan Produksi Nasional
Sebagai solusi, Partai X mendorong reformasi fiskal dengan tiga arah kebijakan strategis:
- Diversifikasi penerimaan negara. Memperluas basis pajak dari sektor produktif seperti pertanian modern, energi hijau, dan industri inovatif.
- Penguatan ekonomi rakyat. Mendorong BUMN dan koperasi sebagai pilar kemandirian nasional, agar negara tidak bergantung pada pajak konsumtif.
- Reformasi sistem cukai. Menata ulang agar cukai berfungsi sebagai alat pengendali sosial, bukan sumber eksploitasi terhadap petani dan buruh kecil.
Penutup: Negara yang Hidup dari Cukai Hidup di Atas Luka Umat
Islam mengingatkan bahwa pemerintah adalah penanggung jawab kesejahteraan umat, bukan penghisap tenaga rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika negara menambal defisit dengan cukai dari kebiasaan buruk rakyat, maka sesungguhnya yang terbakar bukan hanya tembakau, tapi juga keberkahan bangsa. Islam mengingatkan, Rezeki yang halal membawa berkah, tapi rezeki dari kebiasaan yang merusak hanya menambah dosa kebijakan.