muslimx.id — Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang gugatan perdata terhadap Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka terkait riwayat pendidikan setingkat SMA, Senin (3/11/2025). Sidang tersebut kembali menarik perhatian publik karena sebelumnya sempat tertunda dua kali akibat ketidakhadiran pihak tergugat, yakni Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Ketua majelis hakim membuka persidangan dengan agenda pemeriksaan lanjutan setelah proses mediasi dinyatakan gagal. “Syarat damai tidak bisa dipenuhi karena tergugat menolak permintaan penggugat,” kata Subhan, penggugat perkara, seusai sidang.
Dalam gugatan bernomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst itu, Subhan menuding Gibran dan KPU RI telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena terdapat dugaan ketidaksesuaian riwayat pendidikan dengan persyaratan pencalonan wakil presiden. Ia menuntut agar status Gibran sebagai wakil presiden dinyatakan tidak sah dan menuntut ganti rugi Rp125 triliun serta Rp10 juta untuk kas negara.
Hukum dalam Islam Tak Mengenal Pilih Kasus
Dalam ajaran Islam, prinsip keadilan ditegakkan tanpa membeda-bedakan jabatan, status, atau kedudukan seseorang. Hukum Allah berlaku sama bagi semua hamba-Nya. Al-Qur’an secara tegas menolak segala bentuk diskriminasi dalam penegakan hukum.
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (QS. An-Nisa [4]: 135)
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan dalam Islam tidak boleh tunduk pada kekuasaan atau kepentingan individu. Tidak ada ruang bagi hukum yang bisa ditawar-tawar atau dinegosiasikan karena setiap pelanggaran harus diproses dengan jujur dan terbuka.
Rasulullah SAW pun telah memberikan teladan luar biasa dalam menegakkan hukum secara adil tanpa pandang bulu. Ketika seorang wanita bangsawan dari Bani Makhzum mencuri dan banyak sahabat ingin agar hukuman tidak dijatuhkan, Rasulullah SAW menegaskan:
“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa keadilan tidak boleh dikecualikan bahkan untuk orang yang paling dekat dengan pemimpin.
Keadilan sebagai Tiang Negara
Nilai keadilan dalam Islam bukan hanya soal hukum di pengadilan, tetapi juga menjadi fondasi bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Tanpa keadilan, kepercayaan rakyat akan runtuh dan negara kehilangan legitimasi moralnya.
Keadilan bukan semata prosedural, melainkan substantif menegakkan kebenaran tanpa intervensi dan tanpa keberpihakan. Sebab, ketika hukum hanya berpihak pada yang kuat, maka kehancuran masyarakat tinggal menunggu waktu.
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak menegakkan hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 45)
Ayat ini menjadi pengingat keras bagi siapa pun yang diberi amanah kekuasaan, bahwa hukum tidak boleh digunakan untuk melindungi jabatan, melainkan untuk menegakkan kebenaran.
Pesan Moral untuk Penguasa dan Rakyat
Sidang gugatan terhadap Wapres Gibran menjadi ujian bagi sistem hukum nasional dalam menegakkan prinsip keadilan. Islam mengingatkan bahwa keadilan adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar urusan administratif negara.
Pemimpin yang adil akan membawa keberkahan bagi rakyatnya, sedangkan hukum yang tebang pilih hanya akan menimbulkan murka Allah dan kehancuran bangsa.
“Sesungguhnya Allah menegakkan negeri yang adil, walaupun kafir; dan tidak menegakkan negeri yang zalim, walaupun Muslim.” (HR. Ahmad)
Keadilan, sebagaimana ditunjukkan Islam, bukanlah milik golongan tertentu ia adalah napas peradaban. Maka, ketika hukum manusia goyah oleh tekanan