muslimx.id — Sejumlah organisasi masyarakat sipil menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan oleh Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI, dan LBH APIK Jakarta bersama tiga pemohon individu.
Sidang perdana perkara 197/PUU-XXIII/2025 digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025), dipimpin oleh Hakim MK Saldi Isra bersama Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.
Para pemohon menilai beberapa pasal dalam UU TNI inkonstitusional karena memperkuat dominasi militer di ranah sipil dan melemahkan prinsip hak asasi manusia (HAM) serta pengawasan demokratis. Mereka menyoroti pasal-pasal terkait Operasi Militer Selain Perang (OMSP), pelibatan militer aktif di lembaga negara, dan usia pensiun perwira tinggi yang dianggap mengancam reformasi sektor keamanan.
Partai X: Negara Harus Berdiri di Atas Kepentingan Rakyat, Bukan Senjata
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa setiap undang-undang, terutama yang menyangkut militer, harus berpihak pada rakyat, bukan pada kekuasaan senjata.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Kalau aturan justru menakuti rakyat, maka negara sedang kehilangan arah,” ujar Rinto.
Ia menekankan, revisi UU TNI seharusnya memperkuat akuntabilitas militer di bawah kendali sipil, bukan membuka celah bagi militer untuk ikut dalam ranah pemerintahan.
“Kita tidak anti-TNI. Tapi militer harus profesional, fokus pada pertahanan, bukan kekuasaan atau birokrasi,” tegasnya.
Pandangan Islam: Kekuatan Bukan untuk Menindas, Tapi untuk Menjaga Amanah
Islam menempatkan kekuasaan dan kekuatan sebagai amanah, bukan alat untuk menakuti rakyat. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaklah kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa keadilan akan membawa kehancuran:
“Pemimpin yang menipu rakyatnya, Allah akan mengharamkan surga atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks ini, aturan negara, termasuk UU TNI, seharusnya menjadi pelindung bagi rakyat bukan instrumen ketakutan atau dominasi. Negara yang menegakkan hukum dengan adil adalah wujud dari rahmatan lil ‘alamin, bukan negara yang tunduk pada kekuasaan senjata.
Solusi: Reformasi TNI yang Berkelanjutan dan Berjiwa Amanah
Partai X dan pandangan Islam berpadu dalam semangat yang sama: mengawal kekuasaan agar tidak melampaui batas. Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain:
- Revisi UU TNI dengan menegaskan batasan tegas antara tugas pertahanan dan urusan sipil.
- Membentuk Komisi Pengawasan Keamanan Nasional yang melibatkan unsur masyarakat sipil dan DPR.
- Menegakkan mekanisme akuntabilitas publik terhadap setiap operasi non-perang yang melibatkan TNI.
- Meningkatkan kesejahteraan prajurit, agar tidak ada dorongan masuk ke ranah sipil.
- Memasukkan pendidikan HAM dan hukum humaniter sebagai kurikulum wajib di lingkungan militer.
Penutup: Negara Kuat Karena Rakyatnya Terlindungi
Kekuatan sejati sebuah negara bukan diukur dari seberapa ditakutinya militernya, tetapi dari seberapa aman dan adil rakyatnya hidup di bawah hukum yang melindungi.
“UU TNI harus mengatur dengan adil, bukan memihak kekuatan. Negara kuat bukan karena militernya ditakuti, tapi karena rakyatnya terlindungi,” tutup Rinto.
Islam mengajarkan bahwa kekuasaan yang melindungi adalah bagian dari ibadah. Negara yang menegakkan keadilan berarti sedang menjalankan perintah Allah SWT menjaga manusia dari ketakutan, menegakkan martabat, dan memastikan bahwa kekuasaan hanyalah sarana, bukan tujuan.