muslimx.id — Anggota Komisi VII DPR Cek Endra menegaskan pentingnya percepatan realisasi Participating Interest (PI) 10 persen di seluruh daerah penghasil migas. Menurutnya, kebijakan ini bukan sekadar pengalihan kepemilikan, tetapi instrumen pemerataan manfaat pengelolaan sumber daya alam (SDA) bagi daerah.
Ia menjelaskan bahwa PI 10 persen memiliki dimensi strategis dalam memperkuat fiskal daerah dan menambah pendapatan non-pajak. Karena itu, keterlambatan proses PI dinilai dapat menghambat optimalisasi ekonomi daerah yang selama ini bergantung pada produksi migas.
Cek Endra menyoroti bahwa Provinsi Jambi telah memasuki tahap due diligence yang sangat penting. Ia menyebut keberhasilan tahap ini menunjukkan bahwa skema PI dapat berjalan baik ketika regulasi dipatuhi secara konsisten. Ia meminta setiap tahap proses PI memiliki kepastian waktu yang jelas untuk mencegah hambatan administrasi di daerah.
Selain itu, ia mendesak Kementerian ESDM dan SKK Migas menjaga transparansi di setiap tahap PI. Menurutnya, transparansi adalah kunci agar tidak ada proses yang tertutup atau rentan konflik kepentingan. BUMD juga diminta memperkuat tata kelola internal dan struktur pembiayaan agar siap memikul tanggung jawab setelah PI diserahkan.
Islam: SDA Adalah Titipan, Transparansi adalah Kewajiban
Dalam perspektif Islam, pengelolaan sumber daya alam adalah amanah besar yang wajib dijalankan dengan jujur, terbuka, dan berpihak kepada kemaslahatan rakyat.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak…” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk pengelolaan aset publik — termasuk migas dan PI 10 persen harus dilakukan secara transparan dan adil, karena ia adalah hak rakyat, bukan hak segelintir pejabat.
Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya kejujuran dalam urusan publik:
“Tidaklah seorang pemimpin menipu rakyatnya, kecuali ia akan diharamkan masuk surga.” (HR. Tirmidzi)
Karena itu, keterbukaan dalam proses PI 10 persen bukan sekadar tuntutan administrasi, tetapi kewajiban moral dan agama.
Akar Masalah: Risiko Administratif dan Tata Kelola Lemah
Beberapa daerah menghadapi kendala serius, mulai dari tumpukan administrasi, ketidaksiapan BUMD, hingga minimnya akses informasi publik. Jika tidak dikelola dengan baik, PI dapat berubah menjadi beban fiskal baru, bukan sumber kekuatan keuangan daerah.
Islam mengingatkan bahwa kelemahan tata kelola bisa membuka ruang bagi kezaliman, penyalahgunaan wewenang, dan ketidakadilan. Prinsip amanah mengharuskan pemerintah bekerja disiplin, rapi, dan jauh dari praktik yang merugikan rakyat.
Solusi: Sistem PI yang Transparan dan Seragam Secara Nasional
Agar manfaat PI 10 persen benar-benar dirasakan oleh rakyat, langkah-langkah berikut perlu diterapkan:
- Standarisasi Nasional Tahapan PI
Pemerintah pusat perlu menetapkan pedoman timeline wajib agar proses seragam di seluruh daerah. - Pendampingan Teknis untuk BUMD
BUMD harus dipersiapkan melalui pelatihan tata kelola, mitigasi risiko, dan pemenuhan regulasi teknis. - Fasilitasi Pembiayaan oleh Pemerintah Pusat
Daerah penghasil migas harus dibantu untuk memenuhi kebutuhan dana pada tahap awal PI. - Pembentukan Panel Transparansi Publik
Panel ini bertugas membuka seluruh tahapan PI kepada masyarakat, sehingga tidak ada ruang gelap dalam prosesnya. - Penguatan Mekanisme Audit dan Pengawasan
Audit rutin memastikan PI tidak diselewengkan atau dikelola tanpa akuntabilitas.
Penutup
Percepatan PI 10 persen harus menghadirkan keadilan ekonomi bagi daerah, bukan sekadar memenuhi target administratif. Islam mengajarkan bahwa pengelolaan harta publik adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan transparansi, kejujuran, dan keberpihakan kepada rakyat.Ketika PI dikelola secara terbuka, disiplin, dan profesional, maka manfaat sumber daya alam akan kembali kepada pemiliknya yang sah: rakyat. Transparansi bukan hanya prinsip tata kelola modern, tetapi perintah agama yang mengikat siapapun yang memegang amanah publik.