Batang Toru sebagai Pelajaran Umat: Pentingnya Amanah, Kehati-hatian, dan Tanggung Jawab

muslimX
By muslimX
6 Min Read

muslimx.id — Narasi proyek strategis nasional selama bertahun-tahun dipakai sebagai pembenaran untuk percepatan pembangunan di berbagai daerah. Namun di Sumatera Utara, khususnya Batang Toru, istilah itu justru berubah menjadi peringatan pahit: bahwa pembangunan yang memaksa, tanpa batas, dan tanpa menghitung daya dukung ekologis dapat menghasilkan tragedi yang tak bisa ditarik kembali.

PLTA Batang Toru yang dipromosikan sebagai masa depan energi hijau kini menjadi contoh nyata bagaimana keputusan yang diambil atas nama investasi ternyata merusak ekosistem, memperbesar risiko bencana, dan mengorbankan keselamatan rakyat di hilir.

Jejak Kebijakan yang Mengabaikan Ekologi

Nama Luhut Binsar Pandjaitan berkali-kali muncul dalam diskusi publik terkait proyek ini bukan sekadar sebagai pejabat, tetapi sebagai motor penggerak kebijakan investasi yang mendorong PLTA Batang Toru sejak tahap awal. 

Dalam banyak pernyataan, ia membela proyek ini sebagai investasi energi bersih dan menepis kritik LSM lingkungan sebagai kampanye negatif. Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda.

WALHI mencatat bahwa lebih dari 72 ribu hektare hutan Batang Toru telah hilang, terutama akibat pembangunan infrastruktur energi dan industri. Proyek ini: memotong habitat Orangutan Tapanuli, merusak lereng bukit yang sensitif, membuka jalur sedimentasi ekstrim, serta mengganggu stabilitas tanah secara sistemik.

Di atas kertas proyek terlihat “strategis”. Tetapi di lapangan, bentang alam rusak secara permanen.

Ketika Zona Industri Mengubah Jalur Bencana

Banjir bandang dan longsor yang menghancurkan Tapanuli Selatan pada 2025 tidak dapat dilepaskan dari perubahan bentang alam hulu. Akses jalan proyek, terowongan air, dan pembukaan lahan untuk menara listrik menciptakan fragmen-fragmen tanah yang tidak lagi kokoh.

Hilir menanggung akibat dari hulu yang dipaksa bekerja di luar kemampuannya. Ketika hujan deras datang, tanah yang seharusnya menyerap dan menahan air justru runtuh, membawa batu, kayu, dan lumpur ke pemukiman warga.

Ini bukan fenomena alam semata ini hasil keputusan yang mengabaikan ekologi demi mengejar target investasi.

Rakyat Menjadi Korban dari Kebijakan yang Terlalu Berani

Ratusan rumah hancur. Ribuan warga mengungsi. Jalan tertutup berhari-hari. Korban jiwa meningkat.

Sementara itu, pemerintah pusat tetap mempertahankan narasi bahwa proyek ini adalah “masa depan energi” dan bagian dari strategi Indonesia menurunkan emisi karbon.

Padahal energi bersih tidak bisa dihasilkan dengan cara yang kotor: menebang hutan primer, merusak DAS, menghancurkan habitat langka, dan membahayakan nyawa masyarakat.

Bencana ini adalah harga yang dibayar rakyat untuk kebijakan yang lebih berpihak pada neraca investasi daripada keselamatan publik.

Negara Tidak Boleh Mengorbankan Ekologi dan Nyawa Rakyat Demi Label Strategis

Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, memberikan kritik keras:

“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika proyek besar justru membahayakan lingkungan dan merugikan warga, berarti negara gagal menjalankan ketiganya.”

Ia menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh menabrak ekologi.

“Ekosistem Batang Toru adalah warisan bangsa. Jika negara sendiri yang merusaknya, bagaimana mungkin rakyat percaya negara hadir untuk mereka?”

Rinto menilai tragedi Tapanuli adalah peringatan keras agar negara berhenti memaksakan proyek besar tanpa kajian ekologis menyeluruh.

Pandangan Islam: Merusak Lingkungan untuk Pembangunan adalah Kezaliman

Islam menempatkan bumi sebagai amanah. Segala pembangunan yang merusak keseimbangan alam dianggap sebagai bentuk kezaliman.

Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)

Kerusakan lingkungan bukan hanya tindakan teknis itu pelanggaran terhadap perintah Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)

Para ulama menegaskan bahwa yang termasuk dalam kategori ini adalah sumber daya alam yang menjadi penopang hajat hidup orang banyak. Hutan, air, dan ekosistem Batang Toru termasuk di dalamnya.

Maka ketika negara membiarkan hulu DAS dihancurkan demi investasi, padahal itu menyangkut kehidupan rakyat, berarti negara telah lalai menjaga amanah publik.

Dalam banyak ayat, Allah juga memperingatkan bahwa kerusakan ekologi adalah akibat ulah manusia:

“Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)

Kerusakan yang terjadi di Batang Toru bukan sekadar akibat alam ia lahir dari kebijakan yang abai terhadap keseimbangan.

Solusi: Pembangunan Harus Mengikuti Ekologi, Bukan Memaksanya

Partai X mengusulkan langkah tegas agar tragedi Batang Toru tidak terulang:

  1. Audit Ekologis Menyeluruh PLTA Batang Toru dan Zona Industri
    Audit harus independen dan dapat diakses publik.
  2. Moratorium Proyek Baru di Ekosistem Batang Toru
    Tidak boleh ada pembangunan tambahan di habitat Orangutan Tapanuli dan zona rawan longsor.
  3. Evaluasi Ulang Izin Industri dan Energi yang Memotong Hulu DAS
    Izin yang melanggar prinsip lingkungan harus dicabut.
  4. Penataan Kebijakan Investasi Nasional
    Pembangunan wajib mengikuti ekologi, bukan sebaliknya.
  5. Percepatan Pemulihan Hutan Batang Toru
    Rehabilitasi harus berbasis restorasi ekologis, bukan penanaman simbolis.
  6. Transparansi Total atas Anggaran Proyek Strategis
    Publik berhak tahu siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan apa resikonya.

Tragedi Batang Toru adalah pengingat bahwa ketika ekologi diabaikan, ekonomi pun akan runtuh. Pembangunan seharusnya menciptakan masa depan, bukan meninggalkan kubangan masalah.

Jika pemerintah ingin disebut berpihak kepada rakyat, maka prinsipnya sederhana: jangan korbankan alam, jangan korbankan nyawa. Pembangunan harus berangkat dari amanah bukan ambisi.

Share This Article