muslimx.id — Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dipromosikan pemerintah sebagai simbol kemajuan, modernisasi, dan pemerataan pembangunan. Namun dibalik narasi tersebut, masyarakat adat di sekitar kawasan IKN menghadapi penyempitan ruang hidup akibat alih fungsi lahan, hutan, dan wilayah adat yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
Berbagai laporan menunjukkan keterbatasan akses masyarakat adat terhadap tanah ulayat, sumber air, dan hutan adat, serta minimnya partisipasi bermakna dalam penetapan wilayah pembangunan. Skema relokasi dan kompensasi dinilai belum menjamin keberlanjutan hidup warga terdampak.
Kesenjangan antara narasi pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif dengan realitas di lapangan menimbulkan ketidakpastian, berpotensi memicu konflik sosial, kemiskinan struktural, dan hilangnya identitas serta kearifan lokal masyarakat adat.
Partai X: Pembangunan Tidak Boleh Mengorbankan Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa pembangunan IKN harus dilihat dari sudut pandang tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Ia mengingatkan bahwa tugas negara mencakup tiga hal utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Menurutnya, pembangunan tidak boleh mengorbankan masyarakat adat yang justru memiliki ikatan historis dan kultural dengan wilayah tersebut.
Prayogi menegaskan bahwa masyarakat adat bukan hambatan pembangunan, melainkan subjek yang harus dilindungi, dihormati, dan dilibatkan secara bermakna dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Islam Mengingatkan: Tanah dan Manusia adalah Amanah
Dalam perspektif Islam, tanah dan kehidupan manusia adalah amanah yang tidak boleh dirampas atau dikorbankan demi kepentingan segelintir pihak. Pembangunan yang meminggirkan rakyat bertentangan dengan prinsip keadilan yang menjadi fondasi syariat.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini menegaskan larangan mengambil hak orang lain tanpa keadilan. Penguasaan tanah dan ruang hidup masyarakat adat tanpa perlindungan yang layak merupakan bentuk ketidakadilan struktural yang bertentangan dengan nilai Islam.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan kepadanya tanah itu dari tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memberikan peringatan keras bahwa perampasan tanah, sekecil apa pun, adalah kezaliman besar yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Solusi: Pembangunan Tanpa Penggusuran Martabat
Untuk memastikan pembangunan IKN berjalan adil dan berkelanjutan, sejumlah langkah mendesak perlu dilakukan:
- Pengakuan dan Perlindungan Wilayah Adat
Status tanah adat harus diakui secara hukum sebelum proyek diperluas. - Partisipasi Bermakna Masyarakat Adat
Libatkan masyarakat sejak tahap perencanaan, bukan sekadar sosialisasi sepihak. - Skema Kompensasi yang Adil dan Berkelanjutan
Ganti rugi harus menjamin kelangsungan ekonomi, sosial, dan budaya warga terdampak. - Mekanisme Pengaduan Independen
Sediakan saluran penyelesaian sengketa yang mudah diakses dan bebas intimidasi. - Audit Sosial Pembangunan IKN
Evaluasi dampak sosial dan budaya perlu dilakukan secara terbuka dan berkala.
Penutup: Pembangunan sebagai Ujian Amanah Negara
IKN tidak boleh berdiri di atas penggusuran hak dan identitas masyarakat adat. Pembangunan sejati bukan hanya soal gedung, jalan, dan infrastruktur, tetapi tentang keadilan, perlindungan, dan penghormatan terhadap manusia.
Islam mengingatkan bahwa kekuasaan dan pembangunan adalah amanah. Negara yang adil adalah negara yang hadir melindungi rakyatnya, bukan meminggirkannya demi ambisi proyek.
Allah SWT berfirman:
“Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang nikmat yang kamu peroleh.” (QS. At-Takatsur: 8)
Tanpa keadilan dan perlindungan martabat manusia, perkembangan kehilangan makna kemanusiaannya. IKN seharusnya menjadi simbol masa depan yang adil, bukan monumen kemajuan yang dibangun di atas pengorbanan rakyat.