Ketika Janji Pro-Rakyat Diucapkan, Amanah Kekuasaan Justru Menjauh

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id — Keberpihakan kepada rakyat sering dikemukakan sebagai narasi utama dalam pernyataan resmi negara. Istilah pro-rakyat diulang sebagai legitimasi moral kebijakan, seolah menjadi pembenar atas setiap keputusan yang diambil. Namun dalam kenyataannya, masyarakat justru kerap memikul beban terberat, sementara kepentingan pejabat dan birokrasi terlihat lebih terjaga melalui berbagai fasilitas dan perlindungan kebijakan.

Ketika kebijakan menimbulkan kesulitan bagi rakyat, yang dikedepankan adalah seruan agar umat memahami keadaan. Sayangnya, seruan tersebut jarang diiringi dengan evaluasi terbuka terhadap para pemegang amanah. Padahal dalam nilai Islam, pemahaman tidak dapat menggantikan tanggung jawab, dan kesabaran rakyat tidak boleh dijadikan alasan untuk menghindari pertanggungjawaban.

Tanpa perubahan yang menyentuh akar persoalan, keberpihakan kepada rakyat hanya menjadi simbol dan slogan. Islam mengajarkan bahwa keadilan diukur dari dampak nyata, bukan dari retorika. Ketika ucapan tidak sejalan dengan perbuatan, kepercayaan umat akan terkikis, dan amanah kekuasaan kehilangan rohnya sebagai sarana mewujudkan kemaslahatan bersama.

Pandangan Partai X: Kekuasaan Adalah Amanah, Bukan Keistimewaan

Menanggapi kondisi tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, mengingatkan bahwa kekuasaan negara bukanlah hak istimewa pejabat, melainkan amanah dari rakyat.

Ia menegaskan bahwa tugas negara sejatinya ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat secara adil. Jika kebijakan lebih melindungi pejabat daripada rakyat, maka arah kekuasaan telah menyimpang dari mandat dasarnya.

“Rakyat tidak boleh terus-menerus diminta memahami, sementara pejabat tidak pernah diminta bertanggung jawab. Keberpihakan sejati hanya bisa dibuktikan melalui kebijakan yang adil,” tegas Prayogi.

Amanah Kekuasaan dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)

Ayat ini menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari amanah kekuasaan. Keberpihakan yang hanya berhenti pada ucapan, sementara kebijakan justru melindungi pejabat, adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah tersebut.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Nu’aim)

Hadis ini mengingatkan bahwa pejabat bukanlah kelompok yang harus dilindungi dari kebijakan, melainkan pihak yang paling bertanggung jawab atas dampaknya.

Solusi: Menyatukan Narasi dengan Kebijakan Nyata

Untuk mengembalikan makna keberpihakan, langkah-langkah berikut perlu ditempuh:

  1. Uji dampak kebijakan terhadap kehidupan rakyat, bukan hanya terhadap stabilitas birokrasi.
  2. Perkuat transparansi dan evaluasi kinerja pejabat secara terbuka dan berkala.
  3. Libatkan suara publik secara bermakna dalam penyusunan kebijakan.
  4. Tempatkan fasilitas dan kepentingan pejabat di bawah kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
  5. Tegakkan akuntabilitas, agar pemahaman rakyat tidak dijadikan alasan pembenaran kebijakan yang keliru.

Penutup: Kebijakan adalah Ukuran Kejujuran Negara

Pemerintah boleh berbicara pro-rakyat dalam pidato dan pernyataan resmi. Namun yang menentukan kebenarannya adalah kebijakan yang dijalankan.

Islam mengajarkan bahwa amanah tidak diukur dari kata-kata, tetapi dari keadilan yang dirasakan. Ketika kebijakan lebih melindungi pejabat daripada rakyat, maka yang bermasalah bukan persepsi publik, melainkan arah kekuasaan itu sendiri.

Keberpihakan akan kembali dipercaya jika rakyat merasakannya secara nyata. Tanpa itu, kata pro-rakyat hanya akan menjadi retorika kosong yang kehilangan makna.

Share This Article