Doa Para Nabi Saat Mengalami Kesulitan

muslimX
By muslimX
4 Min Read

Di negeri yang terus berjuang keluar dari himpitan krisis ekonomi, di tengah gelombang PHK massal, harga kebutuhan yang tak kunjung bersahabat, hingga badai mental yang diam-diam menyapu generasi muda, satu hal yang tak pernah kehilangan maknanya: doa.

Kita menyaksikan orang-orang mengencangkan ikat pinggang, memutar otak untuk bertahan, dan berjuang menahan air mata agar tidak jatuh di depan keluarga. Tak sedikit yang bertanya dalam hati, “Masih adakah jalan keluar?” “Masihkah Allah mendengar?”

Di tengah hiruk pikuk teknologi dan narasi kekuatan diri yang terus digaungkan, doa seolah menjadi pilihan terakhir. Padahal bagi para nabi, doa justru adalah senjata pertama, jalan utama untuk menemukan makna, menerima takdir, dan memohon pertolongan dari langit.

Mungkin kita pernah merasa seperti Nabi Ayyub AS, yang diuji dengan penyakit dan kehilangan, tapi tetap bersyukur. Atau seperti Nabi Yunus AS, yang merasa sendirian dalam gelap, dan hanya bisa berkata lirih: “Aku salah, ya Allah.”

Hari ini, di tengah tekanan hidup yang kadang membuat dada sesak dan kepala nyeri, dua doa ini bisa menjadi pegangan. Bukan sekadar bacaan, tapi pengakuan, penyerahan, dan pengharapan yang dalam.

“Rabbi innī massaniyaḍ-ḍurru wa anta arḥamur-rāḥimīn” (QS. Al-Anbiya: 83)

Yang artinya: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”

Doa ini dilafalkan Nabi Ayyub ketika seluruh harta, anak-anak, bahkan kesehatannya direnggut dalam sekejap. Tapi lihat bagaimana ia tidak mengeluh, tidak marah, dan tidak menuntut. Ia hanya mengadu dengan lembut, karena tahu bahwa rahmat Allah lebih besar dari musibah yang ia tanggung.

Ini pelajaran berharga untuk kita yang hari ini merasa hidup terlalu berat. Bahwa mengeluh bukan satu-satunya cara untuk mengurai luka. Kadang, cukup sampaikan dengan tenang pada Dia yang Maha Mendengar.

“Lā ilāha illā anta subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn” (QS. Al-Anbiya: 87)

Yang artinya: “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.”

Doa tersebut dibaca oleh Nabi Yunus AS saat berada di perut ikan, dalam gelap, sendiri, dan merasa ditinggal. Tapi justru dari pengakuan kesalahan dan ketulusan inilah, Allah mengangkatnya kembali ke daratan dengan sehat, selamat, dan lebih bijaksana.

Berapa banyak dari kita yang hari ini merasa gagal, merasa salah langkah, atau merasa sudah terlalu jauh untuk kembali? Maka, doa tersebut sebagi jalan pulang. Karena Allah tidak pernah menutup pintu bagi siapa pun yang datang dengan hati yang remuk.

Kedua doa ini bukan sekadar petikan ayat. Ia adalah warisan langit, warisan orang-orang pilihan yang diuji luar biasa tapi tetap menang karena mereka bersandar bukan pada kekuatan diri, tapi ketundukan pada Ilahi.

Hari ini, Indonesia bukan hanya butuh solusi ekonomi atau kebijakan politik. Kita butuh generasi yang berani berserah, yang tetap melangkah sambil bersujud. Yang tahu bahwa ketika dunia terasa buntu, masih ada langit yang terbuka.

Dan Rasulullah SAW bersabda:

“Doa adalah senjata orang beriman, tiang agama, dan cahaya langit dan bumi.” (HR. Hakim)

Mari kita warisi kekuatan para nabi. Bukan karena mereka tak pernah diuji, tapi karena mereka tahu kepada siapa mereka kembali. Dalam setiap tangis yang tak terdengar, dalam setiap kegagalan yang belum tersembuhkan, bisikkan doa yang sama. Karena seperti mereka, kita pun sedang diuji, dan sedang dicintai.

Share This Article