Di dunia ini, tak satu pun anak yang lahir tanpa harapan. Sejak kecil, sebagian dari kita sudah dikelilingi oleh kalimat-kalimat yang penuh cita: “Nanti jadi dokter, ya.” “Besok kalau besar kerja di pemerintahan, biar hidup enak.” Kalimat yang terdengar manis, namun di baliknya bisa menyimpan beban yang tak ringan.
Banyak anak yang hidup dalam bayang-bayang harapan orang tua. Kisahnya menggambarkan pertanyaan yang kerap muncul dalam hati banyak anak muda hari ini: “Haruskah aku mengikuti jalan yang ditetapkan untukku, atau bolehkah aku memilih jalanku sendiri?”
Dalam Islam, hidup adalah ujian. Bukan hanya dalam bentuk musibah, tapi juga dalam bentuk keputusan. Allah berfirman:
“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams: 7-8)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia diberi akal dan kemampuan memilih, serta akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan itu.
Orang tua memang berhak berharap, tetapi dalam Islam, anak bukan milik orang tua, melainkan amanah dari Allah. Mereka berhak tumbuh, berkembang, dan menemukan jalannya sendiri selama tidak menyimpang dari kebenaran.
Kasih sayang orang tua memang tak pernah diragukan. Mereka ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun dalam Islam, kasih sayang juga harus diiringi hikmah (kebijaksanaan).
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala urusan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Memaksakan anak untuk menempuh jalan yang bukan pilihannya, meskipun dengan niat baik bisa menjadi bentuk kezaliman emosional yang tidak disadari. Islam mengajarkan untuk menuntun, bukan menekan; memberi arah, bukan memaksa arah.
Dalam konteks dunia kerja, banyak orang tua berharap anaknya “kerja di tempat bagus”, padahal tidak ada satu pekerjaan pun yang hina jika dilakukan dengan halal dan jujur.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik makanan adalah yang diperoleh dari hasil usahamu sendiri. Dan Nabi Dawud pun makan dari hasil tangannya sendiri.”(HR. Bukhari)
Islam mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan dari status pekerjaannya, tapi dari nilai kebaikan, keikhlasan, dan kontribusinya. Menjadi guru honorer, buruh harian, atau wirausahawan kecil pun bisa bernilai tinggi jika dijalani dengan penuh tanggung jawab dan iman.
Sebagai manusia, kita wajib berikhtiar dan berencana, namun hasil akhirnya tetap berada dalam kuasa Allah. Saat ini mungkin masih banyak anak di luar sana yang diam-diam sedang berdamai dengan jalan hidupnya. Mereka mungkin tidak menjadi “orang besar” seperti yang dibayangkan orang tua, tapi mereka sedang belajar menjadi manusia yang kuat, sabar, dan tetap melangkah, meski pelan dan tertatih.
Maka wahai orang tua, Islam tak melarangmu berharap. Tapi biarkan harapan itu tumbuh bersama kenyataan, bukan bertabrakan dengannya. Islam mengajarkan untuk mendoakan anak, bukan menuntutnya tanpa henti.
Islam bukan agama yang kaku. Ia adalah jalan hidup yang penuh kasih, memberi ruang pada setiap jiwa untuk tumbuh, mencari, dan kembali.
Setiap orangtua mestinya mempunya prinsip: doakan anakmu agar ia menjadi hamba yang berdaya, bukan hanya “berhasil” menurut dunia. Beri ia ruang untuk memilih, agar ia bisa mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan Allah kelak.