Fenomena wisuda sekolah yang mewah dan seremonial kini tengah menjadi sorotan, khususnya di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil. Di Indonesia, perayaan kelulusan bahkan untuk jenjang TK hingga SMA kerap menuntut biaya besar, mulai dari sewa gedung, fotografer, pakaian hingga riasan. Bagi keluarga dari kalangan menengah ke bawah, ini bisa menjadi beban finansial yang berat, bahkan tak jarang mendorong mereka untuk berutang.
Kisah viral Aura Cinta, remaja asal bantaran sungai Bekasi, menjadi potret nyata dari ketimpangan ini. Di tengah penggusuran rumahnya oleh pemerintah Jawa Barat, Aura tetap berharap dapat mengikuti wisuda SMA. Namun, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa pelarangan wisuda dilakukan untuk mencegah tekanan ekonomi yang lebih besar bagi warga. Menurutnya, memiliki rumah lebih penting daripada menggelar seremoni kelulusan.
Fenomena ini sejalan dengan tren anak muda yang cenderung terpengaruh budaya visual dan pencitraan sosial. Namun, dalam perspektif Al-Qur’an, hidup berlebihan dan membanggakan diri melalui simbol-simbol kemewahan adalah sesuatu yang tidak dianjurkan. Islam menekankan pentingnya kesederhanaan, keseimbangan dalam pengeluaran, serta mengedepankan nilai dari ilmu dan proses, bukan sekadar perayaannya.
Namun, Al-Qur’an mengingatkan agar manusia tidak terjebak dalam pencitraan dan kemewahan yang semu:
“Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)
Ayat ini memberi peringatan tentang kesombongan dan pamer yang bisa muncul dari gaya hidup konsumtif atau simbolis seperti wisuda yang mewah. Budaya semacam ini bisa membuat anak muda lebih mengejar pengakuan daripada substansi pencapaian.
Apalagi, ketika sebagian orang tua terpaksa berutang demi wisuda anaknya, ada krisis nilai yang lebih besar: hilangnya rasa empati terhadap situasi ekonomi masyarakat luas. Islam memerintahkan untuk menjaga diri dari perilaku individualistis dan lebih memikirkan maslahat bersama.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Jika sistem pendidikan atau budaya sekolah mendorong anak-anak dan orang tua untuk mengikuti wisuda mahal yang membebani, maka ini bisa masuk dalam kategori “tolong-menolong dalam dosa” yaitu, memfasilitasi sistem yang memaksa masyarakat lemah untuk memaksakan diri demi citra.
Islam juga menekankan pentingnya ilmu, namun bukan dari aspek selebrasinya, melainkan dari penerapannya dalam kehidupan nyata.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Pencapaian seperti kelulusan seharusnya menjadi pijakan untuk bertumbuh, bukan berpesta. Sebab, dalam pandangan Al-Qur’an, kemuliaan datang dari ilmu dan amal, bukan dari seremonial yang gemerlap.
Kisah Aura Cinta adalah simbol dari dilema anak muda yang haus akan pengakuan, tetapi hidup dalam keterbatasan. Perspektif Al-Qur’an mengajak kita semua, terutama generasi muda, untuk mengedepankan hikmah, kesederhanaan, dan prioritas hidup yang benar.
Saatnya generasi muda meninjau ulang esensi selebrasi pendidikan. Kelulusan bukanlah panggung status sosial, melainkan awal dari perjalanan hidup yang lebih luas. Seperti yang diajarkan Al-Qur’an, pencapaian sejati terletak pada ilmu yang diamalkan dan kebermanfaatan bagi sesama, bukan kemegahan seremoninya.
Mungkin sudah waktunya tren wisuda mahal digantikan dengan budaya apresiasi yang bermakna, sederhana, dan tidak membebani. Karena dalam Islam, yang dikenang bukan gaun atau panggung, melainkan manfaat dan kontribusi setelahnya.