Krisis Pendidikan di Tengah Kemiskinan: Tanggung Jawab Negara Menurut Islam

muslimX
By muslimX
5 Min Read

Di perbatasan Wagir dan Sukun, fenomena potret suram yang jarang masuk sorotan utama media: seorang remaja laki-laki, masih belasan tahun, duduk bersandar di trotoar dengan gitar tua di pangkuannya. Suaranya mengalun pelan, menyanyikan lagu-lagu jalanan untuk para pengendara yang berlalu-lalang. Namanya Rino. Harusnya, usianya masih diisi dengan pelajaran di bangku sekolah, bukan dentingan receh dari topi lusuh di depannya.

Rino bukan sekadar potret satu anak. Ia adalah representasi dari sebuah sistem yang membiarkan ribuan anak Indonesia tumbuh tanpa pendidikan yang layak. Diketahui Rino bersama keluarganya bertempat tinggal di sebuah kontrakan kecil, di gang sempit kawasan Wagir, Malang. Rumah berdinding semen itu dihuni oleh orangtua Rino dan lima saudaranya. Asal mereka dari Banyuwangi, merantau ke Malang demi mencari penghidupan. Sayangnya, hidup di kota bukan jaminan kesejahteraan.

Keluarga ini memiliki delapan anak. Dan tak satu pun dari mereka pernah duduk di bangku sekolah. Pendidikan, bagi mereka, terasa seperti kemewahan yang tidak perlu dipertimbangkan ketika kebutuhan pokok seperti makan pun masih menjadi perjuangan harian. Semua anaknya pernah menjadi pengamen. Dari pasar ke perempatan, dari lampu merah ke stasiun, mereka tumbuh bukan dengan buku, tetapi dengan nyanyian jalanan dan harapan seadanya.

Fenomena seperti keluarga Rino seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah. Sebab pendidikan adalah hak dasar, bukan hadiah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31, disebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Namun fakta di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak keluarga miskin bahkan tidak memiliki akses, baik secara ekonomi maupun geografis, terhadap pendidikan.

Pemerintah memang telah menggulirkan program seperti BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan KIP (Kartu Indonesia Pintar), tapi persoalan yang dihadapi warga seperti keluarga Rino mungkin bisa jadi jauh lebih kompleks: mulai dari tidak adanya dokumen administrasi, tidak punya biaya transportasi, hingga kebutuhan mendesak lainnya.

Menyikapi persoaln tersebut seharusnya kita bertanya soal prioritas negara dalam memuliakan pendidikan rakyat kecil. Selama sistem masih mempersulit warga miskin untuk bisa masuk sekolah, selama tidak ada keberpihakan nyata pada anak-anak marjinal, maka pendidikan hanya akan jadi mimpi di siang bolong bagi mereka.

Dalam perspektif Islam, pendidikan tidak hanya penting, tetapi juga merupakan kewajiban. Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, laki-laki dan perempuan.” (HR. Ibnu Majah). Ilmu bukan hanya jalan menuju kesejahteraan dunia, tapi juga bekal menuju keselamatan akhirat. Maka, membiarkan anak-anak tumbuh tanpa ilmu sama saja dengan mewariskan kebodohan struktural yang akan terus berulang dari generasi ke generasi.

Islam juga menekankan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Tahrim:6, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” yang oleh para ulama diartikan juga sebagai perintah untuk mendidik keluarga dengan ilmu dan akhlak.

Namun tentu, dalam konteks keluarga miskin seperti Rino, kita tidak bisa menuntut orangtua mereka seolah mereka memiliki pilihan yang luas. Maka di sinilah negara semestinya hadir, sebagai wali masyarakat yang lemah.

Apa yang dialami Rino dan saudara-saudaranya bukan karena mereka malas. Mereka hanya tumbuh dalam sistem yang gagal memberikan mereka harapan. Mereka tidak memilih untuk lahir miskin, tapi mereka dipaksa untuk bertahan hidup dengan satu-satunya cara yang mereka tahu.

Mereka tak butuh simpati semata. Mereka butuh sistem yang adil, yang mengulurkan tangan bukan hanya dalam bentuk bansos musiman, tapi pendidikan gratis yang benar-benar inklusif. Yang menjemput bola hingga ke lorong sempit seperti tempat tinggal Rino. Yang mengakui bahwa tidak semua anak bisa masuk sekolah hanya karena bangkunya tersedia karena untuk duduk di sana, mereka butuh jaminan makan, dokumen identitas, dan kelegaan finansial dari orangtua mereka.

Pendidikan adalah jembatan masa depan. Jika jembatan ini hanya bisa dilalui oleh mereka yang lahir di keluarga berkecukupan, maka kita sedang membangun masa depan yang timpang. Islam memuliakan ilmu, dan negara wajib menghadirkan keadilan.

Rino hanyalah satu dari sekian banyak anak yang kehilangan haknya. Tapi lewat kisahnya, kita diingatkan: bahwa di jalan-jalan kota, di bawah terik dan debu, ada anak-anak yang diam-diam sedang belajar bertahan hidup, karena negara belum sepenuhnya hadir untuk mereka.

Share This Article