Industri kecantikan Indonesia tengah mengalami masa keemasan. Di tengah gempuran tren perawatan kulit, makeup natural, hingga booming beauty influencer, pasar kosmetik terus menunjukkan grafik menanjak. Banyak brand lokal bermunculan, dari yang besar hingga rumahan dengan kemasan elegan, aroma menggoda, dan klaim yang menjanjikan. Tapi di balik gemerlap industri ini, ada satu mekanisme yang kini banyak digunakan oleh para pelaku usaha: sistem maklon.
Maklon adalah sistem kerja sama produksi di mana sebuah brand memesan produk pada pabrik pihak ketiga biasanya di China. Dengan sistem ini, siapa pun bisa memiliki brand kosmetiknya sendiri tanpa harus memiliki pabrik, laboratorium, atau tim riset bahan aktif. Pihak maklon akan mengurus semuanya: mulai dari formulasi, produksi, hingga perizinan.
Namun, pertanyaan penting kemudian muncul: sudahkah semua produk yang bermunculan ini benar-benar halal?
Dalam Islam, setiap hal yang masuk ke tubuh dan menyentuh kulit haruslah jelas status kehalalannya. Bukan hanya makanan dan minuman, kosmetik pun menjadi perhatian penting. Ini bukan soal “apa yang tren”, tapi soal kesucian, kesehatan, dan ketaatan terhadap nilai-nilai syariah.
Kosmetik yang halal tidak cukup hanya dinyatakan “aman”. Ia harus memenuhi tiga kriteria utama dalam pandangan Islam: Bahan bakunya harus halal, artinya tidak berasal dari babi, bangkai, atau unsur najis lain. Proses produksinya harus suci, tidak tercemar oleh alat atau lingkungan yang tidak sesuai syariah. Tidak membahayakan tubuh, karena Islam melarang segala sesuatu yang membawa mudarat.
Dalam praktik maklon, seringkali pemilik brand tidak mengetahui secara mendalam asal bahan baku, proses pembuatan, hingga kebersihan alat produksi. Inilah celah yang rentan, dan bisa membuat produk yang seharusnya mempercantik wajah, justru memunculkan keraguan di hati.
Pemerintah Indonesia melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebenarnya telah mulai mewajibkan sertifikasi halal untuk berbagai produk, termasuk kosmetik. Namun, proses sertifikasi ini masih belum merata diterapkan, terutama di kalangan pelaku usaha kecil dan menengah yang memanfaatkan jasa maklon.
Di sisi lain, beberapa pabrik maklon belum menjadikan halal sebagai standar utama. Mereka lebih fokus pada harga murah, kecepatan produksi, dan fleksibilitas. Sementara itu, edukasi tentang pentingnya sertifikasi halal juga belum sepenuhnya menjangkau seluruh pelaku industri kecantikan, baik produsen maupun konsumen. Akibatnya, banyak produk yang secara tampilan profesional dan populer di pasaran, namun belum tentu memiliki kejelasan status kehalalannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang menekankan pentingnya kehalalan produk kosmetik. Dalam fatwanya, disebutkan bahwa penggunaan kosmetik berbahan najis atau haram hukumnya tidak diperbolehkan, kecuali dalam kondisi darurat dan tidak ada alternatif lain yang halal.
MUI juga menyerukan agar produsen kosmetik lebih transparan terhadap bahan-bahan yang digunakan, serta mendorong konsumen Muslim untuk lebih cermat dalam memilih produk.
Bagi konsumen Muslim, kosmetik bukan sekadar soal tampilan luar. Ia menjadi bagian dari ibadah harian karena apa yang melekat di tubuh akan terbawa dalam salat, wudu, dan aktivitas spiritual lainnya. Maka, membeli kosmetik halal bukan hanya keputusan konsumtif, melainkan bentuk ketaatan dan kehati-hatian dalam menjalani syariat.
Industri kosmetik Indonesia punya potensi besar untuk menjadi pemimpin di pasar halal global. Dengan mayoritas penduduk Muslim, kebutuhan akan produk kosmetik yang tidak hanya cantik tapi juga suci sangat tinggi.
Inilah saatnya pelaku usaha, pabrik maklon, dan pemerintah berjalan dalam satu visi: membangun industri kecantikan yang tidak hanya kompetitif tapi juga berakhlak dan bersih secara syar’i.
Sistem maklon seharusnya tidak hanya menawarkan “kemudahan” dan “efisiensi”, tapi juga menjamin kualitas dan kehalalan. Pemerintah pun diharapkan lebih tegas dalam regulasi, serta memperluas sosialisasi tentang pentingnya sertifikasi halal bagi pelaku usaha kosmetik, termasuk mereka yang menggunakan jasa maklon.
Di dunia yang makin cepat dan kompetitif, banyak orang berlomba menjual produk kecantikan. Tapi kecantikan sejati dalam Islam bukan hanya dari tampilan luar, melainkan dari apa yang suci, bersih, dan menenangkan hati.
Semoga industri kosmetik di Indonesia tak hanya terus tumbuh secara bisnis, tapi juga semakin kuat secara etika dan syariah. Karena bagi umat Muslim, kosmetik yang benar-benar cantik adalah yang membawa keberkahan.