Jangan Asal Panggil ‘Gus’: Ini Makna Sebenarnya Menurut Sejarah dan Islam

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id – Di tengah derasnya arus media sosial dan budaya populer, panggilan “Gus” kian menjamur. Tak lagi asing kita mendengar seseorang dipanggil “Gus” dalam unggahan video dakwah, konten humor, atau bahkan podcast. Seakan-akan, siapa pun kini bisa menyandang gelar itu, cukup bermodal kepercayaan diri, gaya bicara santai, dan sedikit pengetahuan agama.

Namun, apakah benar semudah itu memanggil atau dipanggil “Gus”? Tidakkah kita sedang menyederhanakan sesuatu yang punya akar panjang dalam tradisi keilmuan dan kehormatan dalam Islam?

Dalam konteks budaya pesantren, khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), “Gus” bukan sekadar panggilan akrab. Ia berasal dari bahasa Jawa, singkatan dari “Bagus”, yang digunakan secara khusus untuk anak laki-laki dari kalangan kiai atau ulama pesantren.

Panggilan ini bukan sekadar prestise, tapi identitas. Seorang “Gus” tumbuh dalam lingkungan ilmu, dibesarkan di bawah asuhan langsung para kiai, dan sejak kecil menyerap nilai-nilai keislaman, akhlak, serta tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena itu, di balik nama itu ada tanggung jawab moral dan sosial yang besar.

Namun di era digital, “Gus” mulai dipakai sembarangan. Tidak sedikit yang menggunakannya sebagai nama panggung, branding pribadi, bahkan bahan guyonan. Ada yang menyebut diri “Gus” tanpa latar belakang pesantren, tanpa sanad keilmuan, bahkan tanpa pemahaman agama yang utuh.

Tidak dapat dipungkiri, media sosial memberi ruang luas bagi siapa pun untuk tampil dan dikenal. Tapi ketika gelar keagamaan dijadikan gimmick, di situlah letak persoalan. Penggunaan panggilan “Gus” tanpa landasan yang sah bisa menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Banyak umat awam akhirnya mengikuti pandangan atau “fatwa” dari tokoh-tokoh yang mereka anggap kiai atau ulama hanya karena panggilan “Gus”. Padahal bisa jadi orang tersebut tidak memiliki dasar ilmu yang kuat, atau bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara mendalam. Dalam Islam, gelar keilmuan bukan untuk kebanggaan, tetapi amanah. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang menyatakan dirinya sebagai orang alim padahal tidak demikian, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam sangat menghormati ilmu dan ahlinya. Karena itu, memalsukan identitas keilmuan atau menerima panggilan yang tak pantas adalah bentuk kedustaan yang bisa menyesatkan umat.

Panggilan “Gus”, sebagaimana “Ustaz”, “Kiai”, atau “Habib”, adalah bentuk pengakuan sosial terhadap seseorang yang benar-benar memiliki kapasitas ilmu dan akhlak. Jika digunakan secara sembarangan, maka kita bukan sedang menghormati, melainkan merendahkan maknanya.

Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya (al-wadh’u fî mahallihi). Termasuk dalam hal panggilan kehormatan. Tidak semua orang yang fasih berbicara agama layak disebut “Gus”. Sebaliknya, tidak semua “Gus” juga layak dipuja tanpa kritis. Maka umat perlu cermat, mengenali siapa yang memang layak jadi panutan, dan siapa yang sekadar numpang tren.

Panggilan “Gus” adalah bagian dari khazanah keilmuan Islam Nusantara yang patut dijaga. Tapi kehormatan itu hanya akan bermakna jika digunakan secara tepat. Dalam dunia yang makin terbuka ini, kita semua bertanggung jawab untuk tidak menjadikan simbol agama sebagai komoditas hiburan atau panggung pencitraan.

Mari kembali memuliakan ilmu dan para pencarinya. Mari bijak dalam menyebut, bijak dalam mengikuti, dan bijak dalam menilai. Karena dalam Islam, setiap gelar akan ditanya pertanggungjawabannya, dan setiap kehormatan bukanlah hadiah melainkan ujian.

Share This Article