Tali Pati: Percobaan Bunuh Diri, dan Kepedulian Sosial dalam Pandangan Islam

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id – Dalam tiga tahun terakhir, Kota Malang mencatatkan setidaknya 43 kasus bunuh diri. Sebuah angka yang patut menjadi perhatian serius. Fenomena ini bukan sekadar statistik; ia mencerminkan luka sosial yang dalam dan krisis kemanusiaan yang mendesak untuk direspons secara empatik dan preventif. Salah satunya adalah kisah “Sinta” (nama samaran), seorang mahasiswi di Malang yang pernah nyaris mengakhiri hidupnya.

Pada akhir 2021, Sinta mengalami tekanan hidup yang luar biasa. Hubungan cintanya kandas, masalah ekonomi mengancam keberlanjutan studinya, dan konflik dengan teman memperburuk kondisinya. Di titik nadir, ia memutuskan untuk bunuh diri dengan pisau dapur. Beruntung, aksi tersebut digagalkan oleh pacar dan teman-temannya. “Kalau ingat, rasanya malu. Tapi saat itu, saya benar-benar gelap mata,” katanya.

Kasus seperti Sinta menunjukkan pentingnya kehadiran orang-orang terdekat sebagai penyangga terakhir sebelum seseorang benar-benar tenggelam dalam keputusan tragis. Sinta adalah contoh mereka yang selamat, tetapi tidak semua korban bernasib sama. Banyak kasus bunuh diri yang tak terselamatkan karena korban merasa sendiri dan tidak memiliki tempat mengadu.

Dalam Islam, kehidupan adalah anugerah yang tak ternilai dari Allah. Bunuh diri, dalam ajaran Islam, merupakan tindakan yang sangat dilarang. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Larangan bunuh diri dalam Islam bukan semata sebagai bentuk hukuman, melainkan peringatan keras agar manusia menjaga amanah kehidupan yang diberikan. Islam mengajarkan untuk bersabar dalam menghadapi ujian, sebagaimana Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)

Namun, penting dicatat, Islam juga mendorong umatnya untuk saling peduli dan menjadi penolong bagi mereka yang sedang dalam kesulitan. Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa melepaskan satu kesusahan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melepaskan satu kesusahan darinya di hari kiamat.” (HR. Muslim)

Menurut Atika Dian Ariana, pakar kesehatan mental dari Universitas Airlangga, penyebab utama bunuh diri berkaitan erat dengan depresi, yang bisa disebabkan oleh berbagai aspek: biologis, psikologis, dan sosial. Dalam konteks mahasiswa, dukungan sosial menjadi sangat krusial. Keberadaan teman-teman yang peduli, yang mampu menjadi pendengar, bisa menjadi tameng pertama sebelum tenaga profesional mengambil alih.

Sayangnya, dalam beberapa kasus, respons sosial terhadap bunuh diri justru penuh penghakiman. Komentar-komentar bernada “pasti masuk neraka” seringkali dilontarkan tanpa empati. Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam Islam, kita tidak diperintahkan untuk menghakimi, melainkan untuk mencegah kemungkaran dan menolong yang lemah.

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Perlu diciptakan ruang aman bagi siapapun yang tengah bergumul dengan tekanan hidup. Edukasi kesehatan mental, layanan konseling gratis di kampus, serta khutbah dan ceramah agama yang membangun empati menjadi bagian dari solusi jangka panjang.

Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam telah menyiapkan kerangka spiritual yang kuat untuk merawat jiwa-jiwa yang luka. Tapi tanpa dukungan sosial dan tindakan nyata, nilai-nilai tersebut akan mandek pada wacana.

Kisah Sinta adalah peringatan. Ia menunjukkan betapa nyawa bisa diselamatkan hanya dengan hadirnya satu tangan yang mau menggenggam. Dan sebaliknya, betapa mudah nyawa melayang jika dunia membisu.

“Sesungguhnya menolong satu nyawa sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32)

Mari berhenti mengadili. Saatnya menyembuhkan.

Share This Article