Rangkap Jabatan Wakil Menteri Bisa Memicu Konflik, Bagaimana Islam Memandang Jabatan Sebagai Amanah?

muslimX
By muslimX
5 Min Read

muslimx.id – Dalam sistem pemerintahan modern, tak jarang kita menjumpai pejabat publik yang merangkap jabatan: seorang wakil menteri yang juga duduk di posisi komisaris BUMN, anggota DPR yang menjabat di lembaga lain, atau kepala daerah yang masih memiliki ikatan struktural dengan perusahaan tertentu. Di permukaan, hal ini mungkin dianggap wajar, apalagi jika pejabat tersebut dianggap “mampu” menangani beberapa peran sekaligus.

Namun, dalam kacamata syariat Islam, jabatan bukanlah sekadar kekuasaan, ia adalah amanah. Dan amanah dalam Islam bukan hanya beban tanggung jawab duniawi, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subḥānahu wa Taʿālā.

Jabatan: Bukan Kehormatan, Tapi Beban Berat

Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa jabatan bukanlah sesuatu yang seharusnya dikejar demi gengsi atau keuntungan pribadi. Dalam sebuah hadis sahih, beliau bersabda:

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan. Karena jika kamu diberi jabatan tanpa memintanya, kamu akan dibantu (oleh Allah). Namun jika kamu diberi jabatan karena memintanya, kamu akan diserahkan (tanpa bantuan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa jabatan bukan kehormatan pribadi, tetapi amanah yang menuntut pertanggungjawaban besar.

Bahaya Rangkap Jabatan dalam Islam

Rangkap jabatan, apalagi dalam ranah kekuasaan dan pengelolaan sumber daya publik, sangat berisiko menimbulkan konflik kepentingan. Seorang wakil menteri yang juga menjadi komisaris perusahaan, misalnya, berpotensi menyalahgunakan posisi untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Islam menolak dengan tegas praktik semacam ini.

Dalam surah An-Nisa ayat 58, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…”

Ayat ini menekankan dua hal: penyerahan amanah kepada yang berhak, dan keadilan dalam kepemimpinan. Rangkap jabatan yang mengarah pada konsentrasi kekuasaan dan ketidakadilan jelas bertentangan dengan prinsip ini.

Kepemimpinan dalam Islam Butuh Fokus dan Kapasitas

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika satu amanah saja sudah berat, bagaimana mungkin seseorang bisa memikul dua atau lebih secara bersamaan dengan optimal? Islam menolak sikap rakus jabatan. Bahkan, para khalifah terdahulu sangat takut ketika diangkat menjadi pemimpin. Umar bin Abdul Aziz menangis saat diangkat menjadi khalifah karena sadar akan beratnya pertanggungjawaban di akhirat.

Di sinilah letak perbedaan paradigma Islam dengan sebagian sistem kekuasaan sekuler: Islam memandang jabatan sebagai ujian, bukan hadiah. Maka, orang yang merangkap jabatan tanpa alasan yang sangat mendesak, apalagi untuk keuntungan duniawi, sedang mempermainkan amanah yang suci.

Potensi Kerusakan akibat Rangkap Jabatan

Beberapa kerusakan (mafsadah) yang mungkin timbul dari praktik rangkap jabatan menurut syariat:

  1. Konflik kepentingan (mu’aradhah al-masalih)
    Seorang pejabat yang bertugas membuat kebijakan, namun juga menjadi pelaksana proyek, jelas sulit bersikap objektif.
  2. Penyelewengan amanah (khiyanah al-amanah)
    Waktu, energi, dan perhatian yang seharusnya difokuskan untuk satu tugas terpecah demi jabatan lain.
  3. Ketidakadilan (ẓulm)
    Ketika orang lain yang layak malah tidak diberi kesempatan karena jabatan “dimonopoli” oleh segelintir orang.
  4. Menghalangi regenerasi kepemimpinan
    Islam mendorong pemberdayaan, bukan pengumpulan jabatan oleh satu orang.

Solusi Islam: Fokus, Ikhlas, dan Tunduk pada Amanah

Dalam Islam, solusi terhadap penyakit kekuasaan adalah ikhlas dan takut kepada Allah. Para pemimpin harus menyadari bahwa jabatan bukan alat menumpuk kekayaan, tapi jalan menuju surga atau neraka, jika disalahgunakan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis bahwa pemimpin yang tidak amanah akan lebih dulu dimintai pertanggungjawaban sebelum rakyatnya dihisab. Maka, siapa pun yang diberi kepercayaan harus bertanya pada diri: “Apakah aku mampu menunaikan ini dengan adil?” Jika tidak, lebih baik mundur daripada menzalimi diri sendiri dan orang lain.

Rangkap jabatan, terutama pada level strategis seperti wakil menteri, bukan hanya persoalan administratif atau kekuasaan. Dalam pandangan Islam, itu adalah persoalan moral dan tanggung jawab syar’i. Jabatan adalah amanah besar yang hanya layak dipikul oleh orang yang mampu, fokus, dan takut kepada Allah.

Jika sebuah jabatan saja akan dipertanyakan di akhirat, maka bagaimana dengan dua atau tiga sekaligus? Islam tidak melarang seseorang diberi lebih dari satu amanah, asalkan ia mampu menunaikannya tanpa menzalimi hak orang lain. Namun jika tidak, maka melepaskan salah satunya adalah bentuk ketakwaan, bukan kelemahan.

Islam menginginkan pemimpin yang bertakwa, bukan tamak. Yang adil, bukan ambisius. Dan yang menganggap kekuasaan sebagai ladang akhirat, bukan lahan kekayaan.

Share This Article