muslimx.id – Sengketa adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan sosial manusia. Baik karena perbedaan pendapat, wanprestasi dalam akad, sengketa waris, hutang-piutang, hingga pelanggaran hak perdata lainnya. Dalam Islam, penyelesaian sengketa bukan sekadar mencari siapa yang menang, tetapi menghadirkan keadilan dan mendamaikan pihak yang berselisih.
Berbeda dengan pendekatan hukum sekuler yang kaku dan formalistik, Islam menawarkan penyelesaian sengketa yang fleksibel, etis, dan berlandaskan nilai-nilai ruhani, yang menyeimbangkan antara hak individu dan kemaslahatan bersama.
Definisi Sengketa Perdata dan Relevansinya dalam Islam
Dalam konteks umum, sengketa perdata menyangkut perselisihan antara dua pihak atau lebih terkait hak dan kewajiban dalam hubungan keperdataan, seperti: jual-beli, sewa-menyewa, warisan, hibah, akad, dan lain sebagainya.
Islam tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga muamalah (interaksi sosial-ekonomi) secara rinci. Ketika terjadi sengketa dalam hal tersebut, Islam telah menyediakan mekanisme penyelesaian yang adil dan beradab.
Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa dalam Islam
1. Musyawarah dan Islah (Perdamaian)
Islam sangat menganjurkan penyelesaian secara damai dan kekeluargaan, sebelum masuk pada jalur hukum formal. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu…” (QS. Al-Anfal: 1)
“Perdamaian itu lebih baik (ṣulḥun khair).” (QS. An-Nisa: 128)
Islah adalah pendekatan damai yang dicapai dengan saling memaafkan, mengalah, atau berbagi hak agar sengketa tidak berlarut. Dalam banyak hadis, Rasulullah ﷺ juga mendorong islah sebagai bentuk amal yang sangat dicintai Allah.
2. Tahkim (Arbitrase)
Jika perdamaian tidak tercapai, maka Islam membolehkan arbitrase, yaitu menunjuk pihak ketiga yang dipercaya (hakim atau tokoh berilmu) untuk menyelesaikan sengketa secara adil.
“Jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam (arbitrator) dari keluarga laki-laki dan seorang dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya.” (QS. An-Nisa: 35)
Walaupun ayat ini konteksnya tentang rumah tangga, prinsipnya berlaku luas dalam penyelesaian konflik perdata lainnya.
3. Pengadilan Syariah (Qadha’)
Jika islah dan arbitrase gagal, maka perkara dapat dibawa ke pengadilan Islam. Dalam sejarah Islam, Rasulullah ﷺ, Khulafaur Rasyidin, dan para Qadhi memutuskan perkara perdata berdasarkan prinsip keadilan, kejujuran, dan bukti yang sahih.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kalian datang kepadaku dengan membawa sengketa. Bisa jadi salah satu dari kalian lebih pandai berbicara daripada yang lain, maka aku putuskan berdasarkan apa yang aku dengar. Barang siapa yang aku beri bagian dari hak saudaranya, maka janganlah ia ambil, karena sungguh aku telah memberikan kepadanya potongan dari api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan pentingnya kejujuran dalam beracara dan kehati-hatian seorang hakim dalam memutuskan perkara.
Prosedur Hukum Islam dalam Sengketa Perdata
- Gugatan (Da’wā): Pihak yang merasa dirugikan mengajukan klaim atas haknya.
- Jawaban (Ijābah): Tergugat menyanggah atau mengakui tuduhan.
- Pembuktian (Bayyinah): Penggugat harus menghadirkan bukti, sesuai kaidah fiqh:
“Al-bayyinah ‘ala man idda’ā, wal-yamīn ‘ala man ankara”
(“Bukti dibebankan kepada yang menuduh, dan sumpah bagi yang mengingkari”) - Putusan Hakim (Qadhā’): Hakim memutuskan berdasarkan bukti dan prinsip keadilan.
- Pelaksanaan Putusan: Pihak yang kalah harus memenuhi keputusan sesuai syariat.
Keunggulan Sistem Islam dalam Penyelesaian Sengketa
Islam menempatkan keadilan dan kedamaian di atas formalitas. Sistem Islam sangat memuliakan perdamaian dan pemaafan dibanding memaksakan kemenangan hukum. Tujuannya adalah rekonsiliasi hati, bukan sekadar kemenangan legalitas.
Dalam banyak kasus di zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, penyelesaian lebih banyak dilakukan melalui pendekatan musyawarah, mediasi, dan saling ridha, tanpa harus memanjangkan perkara di depan hakim.
Islam adalah agama keadilan. Allah mencintai orang-orang yang mendamaikan, bukan membakar api perselisihan. Ketika terjadi sengketa perdata, Islam mengajarkan bahwa setiap hak harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan setiap keputusan hukum harus berpihak pada keadilan, bukan kepentingan pribadi.
Maka, bagi umat Islam, menyelesaikan sengketa bukan sekadar soal menang atau kalah, tetapi soal menjaga kehormatan, menghindari permusuhan, dan menegakkan amanah Allah di muka bumi.
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan…” (QS. An-Nahl: 90)
Semoga setiap perselisihan kita hadapi dengan sikap bijak, dan setiap keputusan kita dasarkan pada cahaya syariat.