muslimx.id – Rencana TNI Angkatan Darat merekrut 24.000 tamtama untuk ditempatkan di sektor pertanian menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk dari Partai X. Rencana ini dianggap menyimpang dari fungsi konstitusional TNI dan berpotensi melanggar prinsip pemisahan sipil-militer yang dijunjung dalam negara demokratis. Dalam perspektif Islam, langkah ini bukan hanya soal penyimpangan administratif, tetapi juga mencerminkan ketimpangan orientasi dalam mengelola amanah kekuasaan.
Islam dan Fungsi Negara: Amanah untuk Menjamin Keadilan
Dalam Islam, negara bukan sekadar entitas kekuasaan, melainkan alat untuk menegakkan keadilan (al-‘adl) dan kemaslahatan (maslahah) bagi rakyatnya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Pemimpin itu adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka dari itu, kebijakan apapun yang lahir dari negara harus mencerminkan perlindungan terhadap yang lemah, terutama para petani yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan umat.
Partai X menilai kebijakan pelibatan TNI dalam urusan pertanian adalah bentuk pengaburan fungsi militer yang dalam Islam seharusnya fokus pada pertahanan (jihad difa’i), bukan pelaksanaan urusan sipil. Ketika militer turun ke sawah sementara petani masih kesulitan mendapatkan pupuk, akses lahan, dan harga jual yang adil, maka jelas ada kekeliruan dalam penetapan prioritas negara.
Tentara Bukan Solusi untuk Petani
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R. Saputra, menyatakan bahwa para petani tidak butuh tentara berseragam loreng di ladang, melainkan perlindungan yang konkret dari negara terhadap nasib mereka. “Petani butuh tanah yang subur, harga yang layak, dan sistem distribusi yang berpihak. Negara mestinya hadir sebagai pengatur adil, bukan sebagai operator tambal sulam dari kegagalan birokrasi sipil,” ujar Prayogi.
Dalam Islam, ketahanan pangan (al-amnu al-ghidha’i) adalah bagian dari maqashid syariah, tujuan utama syariat yang melindungi kebutuhan dasar manusia. Ketika negara gagal menjamin hak-hak dasar seperti akses terhadap tanah dan hasil tani yang adil, lalu justru mengirim pasukan militer untuk ‘mengurusi’ pertanian, itu adalah bentuk pembiaran terhadap ketidakadilan struktural.
Bahaya Normalisasi Intervensi Militer
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa kebijakan ini membuka jalan bagi normalisasi peran militer di ranah sipil, sesuatu yang justru ditolak oleh semangat reformasi dan ditegaskan dalam konstitusi. Dalam Islam, kekuasaan militer (quwwah) harus dijalankan dengan batas-batas yang jelas, agar tidak berubah menjadi alat represif atau bahkan memaksakan kehendak di luar kewenangannya.
Peringatan keras dalam Al-Qur’an terhadap para pemimpin zalim seharusnya menjadi renungan bersama:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan… dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (QS. An-Nahl: 90).
Solusi Islam: Reforma Agraria dan Keberpihakan pada Rakyat
Partai X mengusulkan agar alokasi dana dan personel yang hendak digunakan untuk proyek militerisasi pertanian, dialihkan pada upaya reforma agraria yang sejati. Lahan tidur milik negara seharusnya diserahkan kepada petani kecil dengan akad-akad syar’i, serta sistem subsidi berbasis zakat pertanian dan distribusi berbasis koperasi umat. Rasulullah SAW pun pernah memberikan tanah kepada para sahabat yang sanggup mengolahnya (HR. Abu Dawud), bukan memberikan kepada yang punya kuasa militer.
Kebijakan pangan yang sesuai dengan nilai Islam tidak boleh diserahkan kepada korporasi besar atau dijadikan proyek populis. Distribusi hasil pertanian harus dikembalikan kepada rakyat dengan prinsip ihtikar (monopoli) dilarang keras dalam Islam. Pemerintah seharusnya menjadi pelindung petani dari praktik tengkulak dan kapitalisasi harga.
Sekolah Negarawan dan Kaderisasi Kepemimpinan yang Qurani
Sebagai bagian dari ikhtiar jangka panjang, Partai X melalui X-Institute membentuk Sekolah Negarawan, sebuah platform kaderisasi yang menanamkan nilai-nilai dasar Islam dalam memahami fungsi negara. Pemimpin masa depan tak cukup hanya paham strategi, tapi harus juga tahu batas antara wewenang sipil dan militer.
“Negara yang kuat adalah negara yang mampu memuliakan rakyat kecil, bukan memobilisasi tentara untuk mengurus urusan yang seharusnya diselesaikan dengan keadilan dan kebijakan yang benar,” tegas Prayogi.
Kesimpulan: Tegakkan Amanah, Bukan Proyek Gimik
Pelibatan TNI dalam program pertanian adalah cerminan dari kesalahan orientasi dalam bernegara. Dalam Islam, maslahat rakyat harus jadi tujuan utama. Bukan gimik, bukan proyek tambal sulam. Negara harus kembali kepada fungsinya: melindungi yang lemah, mengatur dengan adil, dan menjaga agar kekuasaan tidak digunakan melampaui batasnya.
Karena dalam Islam, tentara bukan alat pembangunan pangan, tapi penjaga kedaulatan. Dan kedaulatan pangan sejati hanya akan tercapai jika petani dimuliakan, bukan dimiliterisasi.