muslimx.id – DPR RI menyatakan akan segera merevisi dua Undang-Undang penting terkait ibadah haji, yaitu UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta UU Pengelolaan Keuangan Haji. Langkah ini dilakukan menyusul kebijakan terbaru Arab Saudi yang memperketat akses masuk jemaah ke Tanah Suci, termasuk pelarangan jemaah nonvisa haji.
Namun, bagi umat Islam, perubahan regulasi semata tidak cukup. Ibadah haji bukan hanya soal teknis administratif atau logistik, melainkan soal amanah ruhani yang sakral. Dalam Islam, siapa pun yang dipercaya mengelola urusan umat, terutama urusan ibadah harus bersikap jujur, adil, dan bertanggung jawab penuh.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang ia pimpin.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Partai X: Jangan Hanya Revisi UU, Tapi Benahi Sistem dari Akar
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa revisi undang-undang tidak boleh menjadi solusi kosmetik. Ia menyebut bahwa banyak masalah haji berasal dari akar sistemik, mulai dari birokrasi yang tidak efisien hingga minimnya transparansi dana jemaah.
“Kalau hanya ubah undang-undang tanpa membongkar sistem yang karut-marut, itu hanya tambal sulam hukum, bukan perbaikan hakikat,” ujar Rinto
Dalam perspektif Islam, pengelolaan dana umat, termasuk dana haji harus bebas dari unsur riba, gharar (ketidakpastian), dan manipulasi. Pengelola dana haji bukan hanya wajib menjalankan tugas secara syariah, tapi juga wajib menjaga niat ibadah dari setiap rupiah yang dipercayakan jemaah.
Pengelolaan Keuangan Haji: Amanah Syariah, Bukan Instrumen Investasi Bebas
Islam mewajibkan pengelolaan harta umat dilakukan secara syar’i dan penuh tanggung jawab. Hal ini sejalan dengan prinsip yang ditegaskan Partai X: bahwa dana haji harus diinvestasikan pada ekosistem halal dan aman bagi jamaah.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58)
Dana umat, termasuk dana haji, bukan sekadar angka di laporan keuangan. Ia adalah amanah dari jutaan umat yang menabung bertahun-tahun demi menunaikan rukun Islam kelima. Maka, setiap keputusan investasi, kerja sama, atau kebijakan biaya harus benar-benar terbebas dari niat mengambil keuntungan di atas penderitaan rakyat.
Solusi Islamik: Audit, Amandemen, dan Edukasi Umat
Partai X menawarkan tiga langkah strategis:
- Audit menyeluruh terhadap BPKH dan mitra penyelenggara.
– Dalam Islam, hisbah (pengawasan) adalah elemen penting dalam menjaga keadilan. Umat berhak tahu ke mana dana mereka dialokasikan. - Amandemen sistem pengelolaan haji agar berbasis syariah dan partisipasi umat.
– Islam mendorong syura (musyawarah) dalam urusan publik. Pelibatan jemaah dan ahli syariah menjadi keharusan. - Edukasi publik tentang biaya, hak jemaah, dan prosedur ibadah.
– Karena amar ma’ruf nahi munkar hanya bisa dilakukan oleh umat yang paham hak dan kewajibannya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim)
Menipu dalam pengelolaan dana haji, bahkan jika melalui sistem birokrasi, tetap tergolong pengkhianatan terhadap amanah umat.
Sekolah Negarawan: Haji Harus Dikelola oleh Pemimpin yang Tunduk kepada Allah
Melalui program Sekolah Negarawan, X-Institute menanamkan nilai bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang melayani umat dengan keikhlasan, bukan sekadar mengejar proyek dan citra.
Pemimpin dalam Islam bukan “penguasa ibadah”, tapi pelayan umat. Mereka yang mengelola haji harus punya takut kepada Allah, karena ibadah ini bukan seperti layanan birokrasi lainnya tapi jalan menuju ampunan dan surga bagi jutaan muslim.
Jangan Ubah UU Haji Jika Tak Ubah Mental Pelayanannya
Perubahan aturan dari Arab Saudi adalah peringatan keras bahwa sistem haji Indonesia harus lebih adaptif, bersih, dan berpihak kepada jamaah. Tapi perubahan hukum tidak akan berarti jika mentalitas pengelolanya tetap birokratis dan lemah dalam amanah.
Dalam Islam, pelayanan terhadap ibadah haji adalah bentuk khidmat kepada tamu-tamu Allah (ḍuyūf ar-Raḥmān). Maka, negara wajib memastikan sistem haji berjalan dengan transparan, adil, syar’i, dan penuh tanggung jawab, karena setiap jemaah adalah amanah, bukan komoditas.
“Ya Allah, siapa pun yang mengurus umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Dan siapa pun yang mengurus umatku dengan baik, maka permudahlah ia.” (HR. Muslim)