muslimx.id – Pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) terhadap empat perusahaan di kawasan konservasi Raja Ampat oleh Presiden Prabowo menuai sorotan dari berbagai pihak. Di balik langkah tegas ini, muncul pertanyaan: benarkah keadilan telah ditegakkan hingga ke akar, atau baru menyentuh permukaan?
Dalam Islam, keadilan (al-‘adl) merupakan prinsip utama dalam kepemimpinan. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)
Maka dari itu, penindakan atas pelanggaran lingkungan adalah kewajiban syar’i. Merusak bumi adalah bentuk fasad (kerusakan) yang dikecam dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
Tegas ke yang Lemah, Lunak ke yang Kuat? Islam Mengutuk Ketimpangan Hukum
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R. Saputra, mengapresiasi pencabutan IUP, namun mempertanyakan mengapa hanya pelaku lapangan yang dijadikan target. Dalam pandangannya, banyak pemilik modal besar yang berada di balik struktur korporasi justru tak tersentuh.
Sikap semacam ini bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah, apabila orang terpandang mencuri, mereka biarkan. Tetapi bila orang lemah mencuri, mereka potong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika hukum hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas, maka hal itu menjadi bentuk kezaliman struktural (zulm) yang dilarang dalam syariat.
Menjaga Amanah Lingkungan: Tanggung Jawab Negara dan Pemodal
Islam memandang bumi dan segala isinya adalah amanah (amanah) dari Allah kepada manusia. Maka, eksploitasi tambang tanpa mempertimbangkan dampak ekologis adalah bentuk khianat terhadap amanah itu.
Allah berfirman:
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi…” (QS. Faathir: 39)
Karena itu, negara wajib membangun sistem pengawasan tambang yang adil dan transparan. Bukan hanya mencabut izin secara simbolik, tetapi juga menelusuri jaringan korupsi perizinan dan mengembalikan hak masyarakat terdampak.
CSR : Bukan Sedekah, tapi Keadilan Sosial
Partai X juga mengkritik program Corporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini hanya menjadi pemanis citra perusahaan. Dalam Islam, bantuan sosial (sadaqah) harus ikhlas dan berdampak nyata, bukan alat legitimasi.
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah… mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan tidak (pula) dengan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 262)
Audit sosial dan transparansi dana CSR menjadi langkah penting agar hak masyarakat atas tanah mereka tidak dikebiri.
Hukum yang Menembus Pejabat dan Pemodal: Islam Serukan Keberanian
Islam tidak mentolerir praktik rente, kolusi, atau monopoli kekuasaan yang membiarkan korupsi merajalela. Negara bertanggung jawab untuk memeriksa seluruh proses IUP, termasuk siapa yang memberi izin, dan siapa yang sebenarnya diuntungkan.
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya…” (HR. Muslim)
Pemerintah wajib membersihkan sistem perizinan dari rente dan mafia, bukan hanya demi kepastian hukum, tetapi juga untuk menegakkan amanah kekhalifahan.
Islam Tak Butuh Simbol, Tapi Keadilan Hakiki
Pencabutan izin tambang adalah awal, namun belum cukup. Dalam pandangan Islam, keadilan sejati menuntut tindakan menyeluruh, menyentuh pemodal besar, membersihkan perizinan dari korupsi, dan mengembalikan hak rakyat atas tanah dan lingkungan hidupnya.
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)