muslimx.id – Terungkapnya jaringan penipuan online internasional yang dikendalikan dari Kamboja, namun beroperasi di Denpasar, menyoroti rapuhnya pertahanan siber Indonesia. Sebanyak 38 pelaku ditangkap Direktorat Siber Polda Bali, setelah terbukti menjadi operator jaringan penipuan yang memanfaatkan platform Telegram untuk menjebak korban warga Amerika Serikat. Data pribadi korban dijarah, lalu dimanfaatkan untuk kejahatan lintas negara dengan bayaran berupa aset kripto.
Dalam pandangan Islam, peristiwa ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi mencerminkan kelalaian dalam menjaga amanah besar: menjaga rakyat dari keburukan.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58)
Negara, sebagai pihak yang menerima amanah kekuasaan dari rakyat, wajib menjaga keselamatan jiwa, harta, dan hak-hak digital warga negaranya. Gagalnya perlindungan digital adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekuasaan.
Ketika Negeri Jadi Ladang Kejahatan Siber: Di Mana Tanggung Jawab?
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R. Saputra, mengecam lemahnya pertahanan siber Indonesia. Menurutnya, ketika tanah air menjadi markas operasi penipuan global, bukan hanya reputasi bangsa yang tercoreng, tetapi juga keamanan rakyat yang terancam.
Islam menekankan bahwa penguasa adalah pelayan rakyat, bukan penguasa atas rakyat. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, ketika sistem keamanan digital bocor dan warga tak terlindungi dari penipuan daring, maka pemerintah harus bertanggung jawab, bukan sekadar menyalahkan pelaku teknis.
Keadilan Digital: Sebuah Kewajiban dalam Islam
Data pribadi adalah bagian dari hak milik (al-milkiyyah) yang dalam Islam harus dilindungi. Menyalahgunakan data orang lain atau membiarkan data itu dicuri adalah bentuk kezaliman (zulm) yang dilarang keras.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil.” (QS. An-Nisa: 29)
Negara wajib menyediakan sistem hukum yang mampu mengantisipasi dan menindak kejahatan siber secara cepat dan adil, serta memastikan setiap warga terlindungi dari pelanggaran digital yang kini semakin masif.
Solusi Islam: Ketahanan Siber sebagai Bagian dari Hisbah dan Perlindungan Masyarakat
Dalam sejarah Islam, konsep hisbah digunakan untuk menjaga ketertiban sosial dan mencegah kerusakan publik. Dalam konteks modern, penguatan keamanan digital bisa dimaknai sebagai bentuk hisbah digital, yakni pengawasan atas ruang siber agar tak dimonopoli oleh penipu, pelanggar hukum, dan predator informasi.
Partai X mendorong:
- Reformasi hukum berbasis keahlian (Expert System): sesuai dengan prinsip syura (musyawarah), keputusan dan kebijakan harus melibatkan ahli di bidang siber.
- Penguatan pendidikan negarawan: agar pemimpin masa depan tidak gagap teknologi, memahami literasi digital, dan mampu mengelola negara berbasis amanah dan integritas.
Negara Harus Hadir Bukan Hanya di Kertas, Tapi di Kehidupan Digital
Jika negara gagal menjaga data rakyat, bagaimana bisa rakyat percaya bahwa negaranya hadir?
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta orang lain secara zalim, sesungguhnya mereka itu menelan api ke dalam perutnya.” (QS. An-Nisa: 10)
Penipuan daring bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga pelanggaran terhadap prinsip dasar keadilan sosial dan perlindungan umat. Dalam Islam, tidak ada ruang bagi pembiaran dan kelalaian terhadap kejahatan yang merugikan rakyat, apalagi jika dibiarkan tumbuh dari tanah air sendiri.