muslimx.id – Kecanggihan Artificial Intelligence (AI) saat ini tak lagi sekadar alat bantu. Ia telah menjelma menjadi entitas digital yang mampu meniru manusia secara nyaris sempurna, membuat konten, suara, bahkan wajah palsu. Fenomena viral seperti video “Hari Pertama di Neraka” membuktikan bagaimana AI bisa menciptakan kegaduhan sosial dan spiritual.
Menurut Muhammad Arbani, dosen STIH Adhyaksa Tangerang, kecanggihan AI yang tak disertai regulasi bisa menjadi fitnah besar bagi umat. “Teknologi ini membuka celah penyebaran hoaks, adu domba, bahkan penyesatan akidah. Dalam Islam, segala yang berpotensi merusak keutuhan umat dan kejujuran adalah haram hukumnya,” tegas Arbani.
Ia menekankan bahwa kelompok usia lanjut, terutama di atas 50 tahun, menjadi korban utama penipuan digital berbasis AI dan Augmented Reality (AR). Sayangnya, hingga kini belum ada undang-undang komprehensif yang mengatur persoalan ini secara detail, padahal Islam mengajarkan bahwa perlindungan terhadap yang lemah adalah bagian dari maqashid syariah.
Partai X: Negara Tak Boleh Diam, Islam Serukan Keadilan dan Tanggung Jawab
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengkritik lambannya respon pemerintah dalam menanggapi ledakan teknologi yang tak disertai batasan moral dan hukum. “Dalam Islam, pemimpin itu bukan hanya bertugas saat krisis. Ia harus memiliki hikmah dan basirah, kearifan dan visi,” ucap Rinto.
Ia menyebut Undang-Undang ITE serta SE Menkominfo No. 9 Tahun 2023 sudah tertinggal jauh dari perkembangan AI dan AR. Tanpa pembaruan kerangka hukum, masyarakat bisa menjadi korban dari teknologi yang tak terkendali. “Teknologi itu netral, tapi bila tak diatur sesuai syariat dan etika, maka ia menjadi alat kebatilan,” lanjutnya.
Partai X menegaskan bahwa arah kemajuan teknologi di Indonesia harus sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan, etika publik, dan maqashid asy-syariah menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Negara wajib hadir sebagai penjaga, bukan penonton dalam arus perubahan zaman.
Regulasi AI Harus Berbasis Nilai Tauhid dan Keadilan
Partai X mendorong lahirnya Undang-Undang AI dan AR Nasional yang tidak sekadar merespons tren, tapi memandu arah pembangunan digital sesuai nilai-nilai ketauhidan. Regulasi tersebut harus menyentuh aspek perlindungan hak cipta, keamanan digital, kepemilikan karya AI, serta pembatasan penggunaan teknologi deepfake dan konten manipulatif.
“Dalam Islam, hak individu itu sakral. Tidak boleh sembarangan dicuri atau digantikan oleh algoritma,” ujar Rinto.
Partai X juga mengusulkan pembentukan Komisi Etika Teknologi, sebuah lembaga independen yang mengawasi penggunaan kecerdasan buatan di ruang publik. Komisi ini harus menjunjung tinggi nilai amanah, kejujuran, dan maslahah bagi umat. “Negara ini butuh institusi yang tidak hanya paham teknologi, tapi juga paham dosa,” imbuhnya.
Melalui program Sekolah Negarawan, Partai X berikhtiar mencetak pemimpin yang tak hanya pintar membuat undang-undang, tapi juga bijak menyikapi revolusi digital dengan nilai-nilai Qur’ani. “Jangan sampai kita kalah bukan karena teknologi, tapi karena kehilangan akhlak,” tegas Rinto.
Robot Boleh Cerdas, Tapi Negara Jangan Kehilangan Nurani
Partai X menegaskan, dalam Islam, kemajuan teknologi tidak boleh mengalahkan nilai kemanusiaan. Ilmu harus dibingkai oleh iman, dan kecanggihan tak boleh mengorbankan keadilan. Negara harus menjadi penuntun di tengah gelombang perubahan, bukan pelaut yang hanya menunggu badai datang.
“AI mungkin tak tidur. Tapi jika pemimpin tak berjaga, rakyatlah yang akan terbangun dalam fitnah,” pungkas Rinto.