muslimx.id – Kebijakan pupuk subsidi kembali jadi sorotan. Pemerintah menyatakan bahwa program ini berhasil meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, kenyataan di lapangan masih menunjukkan banyaknya jeritan petani. Dalam Islam, janji kesejahteraan rakyat bukan sekadar angka di atas kertas, tapi amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto berkomitmen menyejahterakan petani melalui pupuk subsidi. Namun dari sudut pandang Islam, janji semacam ini bukan sekadar kebijakan publik, tapi bagian dari amanah pemerintahan (al-imāmah) yang wajib ditunaikan secara adil dan jujur. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisā’ [4]: 58)
Partai X meragukan klaim kesejahteraan yang diusung pemerintah. Menurut Prayogi R. Saputra dari X-Institute, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa petani masih kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi secara adil. Bahkan, ada indikasi penguasaan distribusi oleh para spekulan.
Dalam Islam, menelantarkan rakyat demi keuntungan segelintir orang adalah bentuk kezhaliman. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak ada seorang pemimpin yang menipu rakyatnya, kecuali Allah akan mengharamkan surga atas dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam tidak mengenal subsidi sebagai pencitraan pejabat. Semua bentuk bantuan negara harus berdasar pada kemaslahatan umat. Dalam Islam, kepemimpinan itu wajib menyejahterakan, bukan sekadar memberi “kesan” sejahtera. Jika petani masih meninggalkan sawah karena rugi, itu tanda sistem gagal.
Prayogi menegaskan: “Subsidi itu hanya alat, bukan tujuan. Yang dinilai adalah hasil akhirnya.” Ini selaras dengan prinsip Islam: keberhasilan suatu sistem diukur dari keadilan dan dampaknya terhadap masyarakat bawah.
Islam menegaskan bahwa negara bertugas mengatur urusan umat. Negara tidak boleh menyerahkan distribusi kebutuhan pokok, seperti pupuk, kepada mekanisme pasar yang rawan manipulasi.
Dalam kitab Al-Amwāl, Imam Abu Ubaid menyebut bahwa salah satu tugas pemimpin adalah menjamin ketersediaan dan keadilan distribusi harta dan kebutuhan pokok masyarakat.
Partai X mendorong reformasi menyeluruh, mulai dari digitalisasi distribusi pupuk yang transparan, perlindungan petani dari tengkulak, hingga pendirian Sekolah Negarawan dan lembaga perlindungan petani. Dalam Islam, semua ini sejalan dengan prinsip ḥimāyah (perlindungan) terhadap rakyat.
Islam melarang menjadikan penderitaan rakyat sebagai alat kampanye atau pencitraan kekuasaan. Rasulullah ﷺ adalah teladan pemimpin yang mendengar jeritan umatnya, bukan yang memanfaatkannya. Dalam sejarahnya, Khalifah Umar bin Khattab bahkan rela tidak makan daging saat rakyatnya kelaparan.
Prayogi menutup: “Petani butuh kepastian, bukan pencitraan.” Dalam Islam, suara petani adalah amanah. Dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.
Islam menegaskan bahwa kepemimpinan bukan soal janji, tapi soal tanggung jawab. Dan kesejahteraan petani bukan sekadar urusan logistik, tapi soal keadilan sosial yang wajib ditegakkan. Jika negara mengaku Islami, maka keadilan dan perlindungan bagi petani harus menjadi bukti, bukan sekadar narasi.