muslimx.id – Sengkarut sistem royalti kembali memicu perdebatan keadilan di ruang publik. Pemerintah melalui Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham menegaskan bahwa pembayaran royalti lagu atau musik merupakan tanggung jawab penyelenggara acara (event organizer/EO), bukan musisi. Namun, pernyataan ini malah membuka luka lama: sistem royalti dinilai lebih berpihak kepada pemilik hak cipta besar dan lembaga kolektif raksasa, ketimbang kepada pelaku seni kecil yang justru bergantung pada ruang publik untuk hidup.
Partai X menilai bahwa sistem ini sekali lagi mencerminkan ketimpangan struktural: melindungi yang kuat, dan menindas yang lemah. Lalu, bagaimana Islam memandang situasi ini?
Pandangan Islam Soal Royalti
Dalam Islam, keadilan bukan hanya soal legalitas atau kepatuhan terhadap hukum negara. Sehingga, keadilan adalah nilai ilahiah yang menjadi asas dalam setiap urusan publik. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)
Artinya, jika suatu sistem hukum justru menimbulkan ketimpangan, menghalangi musisi kecil untuk tampil karena takut melanggar aturan royalti, atau menciptakan ketergantungan pada lembaga-lembaga tertutup, maka sistem itu tidak bisa dianggap adil secara syariat. Dalam logika Islam, hukum yang mempersulit hak hidup dan kerja halal adalah hukum yang wajib ditinjau ulang.
Seni, dalam sejarah Islam, selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Syair para sahabat, nyanyian rakyat, bahkan musik tradisional di banyak peradaban Islam berkembang sebagai media ekspresi spiritual, sosial, dan budaya.
Ketika seni dibatasi oleh birokrasi yang berbelit dan royalti yang mahal, rakyat kecil kehilangan ruang untuk berekspresi dan mencari nafkah halal. Dalam Islam, ini termasuk bentuk dzulm (kezaliman) struktural yang bertentangan dengan prinsip rahmah (kasih sayang) yang seharusnya menjadi dasar bernegara.
Hadist Tentang Royalti
Islam menghormati hak milik, termasuk hak cipta. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa lebih dahulu mendapatkan sesuatu yang belum dimiliki orang lain, maka ia lebih berhak atasnya.” (HR. Abu Dawud)
Namun, hak dalam Islam tidak bisa berubah jadi alat penindasan. Kalau sistem royalti lebih mempersulit pelaku seni daripada membantu, maka itu bukan lagi perlindungan, itu adalah bentuk eksklusi sosial terhadap rakyat kecil. Dalam Islam, maslahah (kemanfaatan umum) harus lebih diutamakan dibandingkan kepentingan segelintir kelompok.
Negara dalam Islam bukan penjaga status quo, tapi pengatur distribusi keadilan. Pemerintah tidak cukup hanya membela hak pemilik cipta, tapi harus juga hadir untuk melindungi komunitas lokal, band indie, pelaku seni desa, yang sering kali tak tergabung dalam Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) karena akses, ketidaktahuan, atau karena sistem yang terlalu memihak pejabat.
Sebagaimana Partai X mengusulkan reformasi LMK dan sistem digital terbuka, dalam Islam pun dikenal sistem hisbah, yakni lembaga pengawas keadilan pasar dan sosial. Jika diterapkan dalam konteks seni dan royalti, maka seharusnya:
- Ada transparansi total dalam distribusi royalti, agar pelaku seni tahu ke mana hak mereka pergi.
- Negara wajib memfasilitasi akses lisensi murah atau bebas royalti untuk acara komunitas, dakwah, atau lokal yang tidak bersifat komersial.
- Musisi kecil dan pencipta lagu tradisional harus dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, bukan hanya lembaga besar atau pemilik hak dari industri raksasa.
Kesimpulan Soal Royalti
Islam memuliakan seni sebagai sarana dakwah, pendidikan, dan hiburan yang halal. Tapi jika seni hari ini hanya bisa dinikmati dan ditampilkan oleh yang mampu bayar lisensi dan royalti, maka negara telah gagal mengelola karunia kreativitas sebagai berkah bersama.
Negara seharusnya bukan jadi mesin pemungut, tapi penjaga keadilan.
“Celakalah kaum yang memuliakan pejabat, tapi mengabaikan yang lemah. Karena doa orang terpinggirkan, tak pernah butuh izin untuk sampai ke langit.”
(Refleksi Umar bin Khattab tentang keadilan)